KOMPAS.com - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 serentak segera digelar pada 27 November.
Dalam momentum ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengingatkan pentingnya masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab.
Pasalnya, memilih kepala daerah yang mampu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab dapat mencegah kerusakan lingkungan yang berdampak luas.
Baca juga: Kota-kota Besar Dunia Terancam Bencana Iklim, Jakarta dan Surabaya Termasuk
Seruan tersebut digaungkan oleh Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lingkar Madani (Lima), Koalisi Pemilu Bersih (Kopi Bersih), dan Indonesia Budget Center (IBC).
Direktur IWGFF, Willem Pattinasarany menekankan, salah urus sumber daya alam oleh kepala daerah dapat memicu bencana ekologis, sosial, dan ekonomi.
"Pemilih harus memilih pemimpin yang berani menolak proyek yang mengancam kelestarian lingkungan," ujar Willem dikutip keterangan tertulis.
Ia mengingatkan beberapa tragedi seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah yang memicu kebakaran hutan dahsyat pada 1997, serta banjir besar di Bahorok pada 2003 dan Kalimantan Selatan pada 2021 yang sebagian besar disebabkan oleh pengelolaan lahan yang buruk.
IWGFF dan koalisi masyarakat sipil juga mengajak masyarakat menolak praktik politik uang.
Baca juga: PBB: Bencana Kelaparan Terjadi Akibat Konflik hingga Guncangan Iklim
"Jumlah yang diterima masyarakat tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang akibat kerusakan lingkungan dan ekonomi daerah," tegas Willem.
Dengan gerakan ini, diharapkan Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi juga momentum untuk mendorong tata kelola lingkungan yang lebih baik demi masa depan Indonesia yang berkelanjutan.
Manager Riset Formappi Lucius Karus menyerukan pentingnya tata kelola pemilu yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Ia mengingatkan masyarakat untuk ikut memantau penyelenggara pemilu agar bebas dari praktik kotor.
Baca juga: BNPB: Tahun 2023, 98 Persen Bencana di Indonesia Terkait Iklim
Direktur IBC Elizabeth Kusrini bertutur, tingginya biaya politik membuat kandidat terpaksa mengeluarkan dana besar, baik untuk memperoleh dukungan partai maupun membiayai kampanye.
Hal ini sering kali berujung pada kebijakan yang boros anggaran dan mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lima Ray Rangkuti mendesak perlunya revisi Undang-Undang Pemilu untuk mencegah politik uang dan praktik transaksional.
Ia juga menyarankan agar pemerintah pusat membiayai kampanye kandidat dari kas negara, sehingga para kandidat dapat lebih fokus pada ide-ide pembangunan hijau daripada mencari dana kampanye ilegal.
Baca juga: Dalam 6 Bulan, Sampah di Cekungan Bandung Bisa Jadi Bencana
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya