JAKARTA, KOMPAS.com - Riset terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan, penerapan ekonomi restoratif berdampak pada lingkungan dan mampu menekan angka kemiskinan.
Peneliti Ekonomi CELIOS Jaya Darmawan menjelaskan, studi ini berisi pendekatan ekonomi restoratif yang dapat mengatasi berbagai tantangan perekonomian Indonesia.
Menurutnya, ekonomi restoratif yang memadukan pemulihan ekosistem dengan pertumbuhan ekonomi inklusif bisa mengurangi ketimpangan sosial, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hingga menciptakan lapangan kerja baru.
Baca juga:
"Dengan simulasi jangka panjang selama 25 tahun, kami menemukan angka Rp 2.208,7 triliun di dalam output ekonomi. Dibandingkan dengan skenario business as usual (BAU) hanya Rp 200,9 triliun. Dalam hitungan kami itu 10 kali lipat lebih besar," ujar Jaya dalam acara Diseminasi Riset dan Diskusi Publik di Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2024).
Hasil riset menunjukkan, peningkatan 1 persen alokasi produk domestik bruto (PDB) untuk inisiatif ekonomi restoratif dapat menurunkan rasio gini hingga 15 persen. Lalu, meningkatkan lapangan pekerjaan sebesar 14 persen, dan mengurangi tingkat morbiditas hingga 11 persen.
CELIOS menilai, investasi dalam ekonomi restoratif tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi berdampak positif terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
"Ekonomi restoratif itu mampu memberikan dampak penurunan kemiskinan yang lebih besar dibandingkan skenario BAU," kata Jaya.
Skenario BAU, lanjut dia, menurunkan 0,09 persen angka kemisikinan pada 2025. Sedangkan pada skenario progresif, penurunan angka kemiskinan mencapai 7,97 persen.
"Kami memberikan pandangan bahwa untuk meningkatkan fokus skenario progresif, dibutuhkan shifting antara sektor ekonomi yang ekstraktif menuju sektor ekonomi restoratif," papar Jaya.
Hasil studi ini juga mengungkapkan, pengembangan ekonomi restoratif sangat bergantung pada dukungan kebijakan pemerintah.
Baca juga: Perbaikan Logistik Kelautan Penting untuk Atasi Kemiskinan dan Kelaparan
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara menekankan bahwa ekonomi restoratif harus sejalan dengan upaya mendorong ketahanan pangan.
“Pemerintahan Prabowo bisa dorong praktik perkebunan dan perikanan berkelanjutan untuk di integrasikan dalam pasokan makan bergizi gratis, misalnya, sehingga pangan lokal bisa diprioritaskan," jelas Bhima.
Ia berpendapat, strategi tersebut dapat menurunkan biaya logistik serta berdampak kepada petani maupun pengusaha lokal. Program ekonomi restoratif pun dapat digabungkan dengan konsep intensifikasi pertanian yang berbeda dari pembukaan lahan baru.
"Pemerintah sebaiknya fokus pada pengembangan teknologi tepat guna, fungsi agregator produk restoratif hingga pendampingan bagi masyarakat yang menjaga hutan," tutur Bhima.
"Lebih relevan model ekonomi restoratif untuk menjawab target ketahanan pangan, dibandingkan food estate," imbuh dia.
Baca juga: Kemiskinan Ekstrem RI Masih 0,8 Persen, Target Dieliminasi pada 2024
Adapun riset CELIOS menawarkan peta jalan pengembangan ekonomi restoratif menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Dalam lima tahun pertama yakni 2025–2030, pemerintah dapat fokus ke kebijakan insentif pajak, penguatan regulasi perlindungan lingkungan, dan pembentukan dana investasi khusus untuk proyek restoratif.
Lima tahun selanjutnya, yaitu 2030–2035, mengembangkan infrastruktur hijau, teknologi berkelanjutan, integrasi ekonomi restoratif dalam RPJMD, serta peluncuran program restorasi ekosistem di daerah.
Di lima tahun terakhir, 2035–2040, kspansi program restorasi ekosistem dapat dilakukan dengan evaluasi ataupun penyesuaian kebijakan berbasis data.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya