KOMPAS.com - Teknologi penangkap dan penyimpan karbon atau carbon capture and storage (CCS) semakin sering dikampanyekan diseluruh dunia.
CCS disebut sebagai salah satu upaya untuk mendekarbonisasi atau mengurangi emisi dari industri bahan bakar fosil dan mencapai netral karbon.
Diberitakan Kompas.com, sebagaimana namanya, cara kerja CCS adalah menangkap emisi karbon dioksida kemudian disimpan ke dalam tanah.
Baca juga: Pengertian Penangkap dan Penyimpan Karbon: Cara Kerja serta Pro-Kontranya
Emisi karbon dioksida yang ditangkap tersebut berasal dari berbagai macam sumber. Biasanya, karbon dioksida yang ditangkap berasal dari industri berat, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), atau aktivitas energi fosil.
Selain itu, ada pula teknologi CCS yang langsung menangkap emisi karbon dioksida dari udara terbuka.
Dilansir dari Euronews, saat ini terdapat 50 fasilitas CCS komersial di seluruh dunia dengan total kapasitas penangkapan 50 juta ton karbon dioksida per tahun.
Meski demikian, kapasitas tersebut hanya mampu mengeliminasi 0,1 persen dari total emisi yang dihasilkan sepanjang 2023 yakni 36,8 miliar ton karbon dioksida.
Kampanye CCS juga semakin santer disampaikan saat KTT Perubahan Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pada November lalu.
Pemerintah Indonesia pun juga tak mau ketinggalan dalam CCS ini. Kementerian ESDM menyebut potensi penyimpanan karbon di Indonesia mencapai sekitar 500 gigaton.
Awal tahun ini, mantan Presiden Joko Widodo eneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 yang mengatur implementasi CCS di Indonesia.
Dalam Perpres tersebut, pemerintah memberikan landasan hukum untuk kegiatan penangkap, transportasi, dan penyimpanan karbon di Indonesia.
Baca juga: Implementasi Penangkap dan Penyimpan Karbon di Indonesia Dinilai Tidak Tepat
Di sisi lain, sejumlah organisasi masyarakat sipil global dan ahli menilai CCS menjadi upaya untuk memperpanjang aktivitas industri bahan bakar fosil.
Menurut sejumlah ahli, kampanye CCS terlalu dibesar-besarkan sehingga bisa merugikan aksi iklim yang sesungguhnya.
Di samping itu, pengetahuan publik mengenai CCS dengan berbagai istilah-istilah teknisnya masih sangat kurang.
Lili Fuhr dari Center for International Environmental Law (CIEL) mengatakan, CCS menjadi taktik terbaru untuk memperpanjang industri bahan bakar fosil.
"Ini adalah smokescreen (kedok asap) yang tidak boleh kita percayai," kata Fuhr dikutip dari Euronews.
Belen Balanya, peneliti dan juru kampanye di Corporate Europe Observatory (CEO), menuturkan, bisnis selalu memiliki cara dan upaya untuk terus bertahan.
"Itulah yang mereka lakukan ketika mereka dipaksa . Ketika ada lebih banyak pengetahuan dan lebih banyak pengakuan tentang perubahan iklim serta peran mereka, dan mereka harus melakukan dekarbonisasi," kata Balanya.
Dengan krisis iklim yang makin memburuk, para pembuat kebijakan juga semakin mengandalkan teknologi sebagai "jalan pintas" untuk mencapai netral karbon dengan cepat.
Baca juga: Keputusan Menteri Energi ASEAN Dorong CCS Dinilai Setengah Hati Wujudkan Transisi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira berujar, berdasarkan berbagai penelitian, alasan mengapa terus ada upaya penerapan CCS adalah karena ada dorongan untuk terus menggunakan bahan bakar fosil.
Padahal, kata Bhima, CCS merupakan teknologi yang belum terbukti.
"Industri-industri ini cenderung memilih teknologi yang mahal dan belum terbukti, salah satunya CCS. Mereka belum mau beralih ke energi terbarukan," ucap Bhima dilansir dari Kompas.com (29/7/2024).
Menurut sebuah studi, dalam jangka menegah dan panjang, kehadiran CCS akan meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil sampai 65 persen dari cadangan yang ada pada 2100.
Dengan demikian, CCS akan tetap melanggengkan eksplorasi bahan bakar fosil terutama batu bara karena permintaannya yang tidak berkurang.
Baca juga: Menteri ESDM Akui Implementasi Tekonologi CCS/CCUS Masih Mahal
"Kita enggak akan selesai menggunakan energi kotor dengan CCS ini karena seolah-olah ada jalan tengah (untuk transisi energi)," ucap Bhima.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Dwi Sawung menyampaikan, ada berbagai risiko kebocoran dari teknologi CCS mulai dari transportasi hingga penyimpanannya.
Dia menuturkan, penyimpanan karbon memanfaatkan bawah tanah, di mana lapisan batuannya sudah stabil selama ratusan atau ribuan tahun.
Jika terjadi gempa bumi, karbon yang tersimpan di bawah tanah tersebut berpotensi lepas dan menguar ke udara.
"Itu akan menjadi bencana geologis yang sangat parah. Karbon yang terkompresi akan bocor akan melonjak sangat drastis," kata Sawung.
Baca juga: Luhut Ungkap Ada 2 Proyek CCS di RI, Simpan Karbon Singapura hingga Jepang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya