Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penangkap Karbon Dinilai Jadi Upaya Memperpanjang Industri Fosil 

Kompas.com - 01/01/2025, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Teknologi penangkap dan penyimpan karbon atau carbon capture and storage (CCS) semakin sering dikampanyekan diseluruh dunia.

CCS disebut sebagai salah satu upaya untuk mendekarbonisasi atau mengurangi emisi dari industri bahan bakar fosil dan mencapai netral karbon.

Diberitakan Kompas.com, sebagaimana namanya, cara kerja CCS adalah menangkap emisi karbon dioksida kemudian disimpan ke dalam tanah. 

Baca juga: Pengertian Penangkap dan Penyimpan Karbon: Cara Kerja serta Pro-Kontranya

Emisi karbon dioksida yang ditangkap tersebut berasal dari berbagai macam sumber. Biasanya, karbon dioksida yang ditangkap berasal dari industri berat,  pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), atau aktivitas energi fosil.

Selain itu, ada pula teknologi CCS yang langsung menangkap emisi karbon dioksida dari udara terbuka.

Dilansir dari Euronews, saat ini terdapat 50 fasilitas CCS komersial di seluruh dunia dengan total kapasitas penangkapan 50 juta ton karbon dioksida per tahun.

Meski demikian, kapasitas tersebut hanya mampu mengeliminasi 0,1 persen dari total emisi yang dihasilkan sepanjang 2023 yakni 36,8 miliar ton karbon dioksida.

Kampanye CCS juga semakin santer disampaikan saat KTT Perubahan Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pada November lalu.

Pemerintah Indonesia pun juga tak mau ketinggalan dalam CCS ini. Kementerian ESDM menyebut potensi penyimpanan karbon di Indonesia mencapai sekitar 500 gigaton.

Awal tahun ini, mantan Presiden Joko Widodo eneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 yang mengatur implementasi CCS di Indonesia. 

Dalam Perpres tersebut, pemerintah memberikan landasan hukum untuk kegiatan penangkap, transportasi, dan penyimpanan karbon di Indonesia.

Baca juga: Implementasi Penangkap dan Penyimpan Karbon di Indonesia Dinilai Tidak Tepat

Kekhawatiran

Ilustrasi penangkap dan penyimpan karbon.SHUTTERSTOCK Ilustrasi penangkap dan penyimpan karbon.

Di sisi lain, sejumlah organisasi masyarakat sipil global dan ahli menilai CCS menjadi upaya untuk memperpanjang aktivitas industri bahan bakar fosil.

Menurut sejumlah ahli, kampanye CCS terlalu dibesar-besarkan sehingga bisa merugikan aksi iklim yang sesungguhnya. 

Di samping itu, pengetahuan publik mengenai CCS dengan berbagai istilah-istilah teknisnya masih sangat kurang.

Lili Fuhr dari Center for International Environmental Law (CIEL) mengatakan, CCS menjadi taktik terbaru untuk memperpanjang industri bahan bakar fosil.

"Ini adalah smokescreen (kedok asap) yang tidak boleh kita percayai," kata Fuhr dikutip dari Euronews.

Belen Balanya, peneliti dan juru kampanye di Corporate Europe Observatory (CEO), menuturkan, bisnis selalu memiliki cara dan upaya untuk terus bertahan.

"Itulah yang mereka lakukan ketika mereka dipaksa . Ketika ada lebih banyak pengetahuan dan lebih banyak pengakuan tentang perubahan iklim serta peran mereka, dan mereka harus melakukan dekarbonisasi," kata Balanya.

Dengan krisis iklim yang makin memburuk, para pembuat kebijakan juga semakin mengandalkan teknologi sebagai "jalan pintas" untuk mencapai netral karbon dengan cepat.

Baca juga: Keputusan Menteri Energi ASEAN Dorong CCS Dinilai Setengah Hati Wujudkan Transisi

Belum terbukti

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira berujar, berdasarkan berbagai penelitian, alasan mengapa terus ada upaya penerapan CCS adalah karena ada dorongan untuk terus menggunakan bahan bakar fosil.

Padahal, kata Bhima, CCS merupakan teknologi yang belum terbukti.

"Industri-industri ini cenderung memilih teknologi yang mahal dan belum terbukti, salah satunya CCS. Mereka belum mau beralih ke energi terbarukan," ucap Bhima dilansir dari Kompas.com (29/7/2024).

Menurut sebuah studi, dalam jangka menegah dan panjang, kehadiran CCS akan meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil sampai 65 persen dari cadangan yang ada pada 2100.

Dengan demikian, CCS akan tetap melanggengkan eksplorasi bahan bakar fosil terutama batu bara karena permintaannya yang tidak berkurang.

Baca juga: Menteri ESDM Akui Implementasi Tekonologi CCS/CCUS Masih Mahal

"Kita enggak akan selesai menggunakan energi kotor dengan CCS ini karena seolah-olah ada jalan tengah (untuk transisi energi)," ucap Bhima.

Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Dwi Sawung menyampaikan, ada berbagai risiko kebocoran dari teknologi CCS mulai dari transportasi hingga penyimpanannya.

Dia menuturkan, penyimpanan karbon memanfaatkan bawah tanah, di mana lapisan batuannya sudah stabil selama ratusan atau ribuan tahun.

Jika terjadi gempa bumi, karbon yang tersimpan di bawah tanah tersebut berpotensi lepas dan menguar ke udara.

"Itu akan menjadi bencana geologis yang sangat parah. Karbon yang terkompresi akan bocor akan melonjak sangat drastis," kata Sawung.

Baca juga: Luhut Ungkap Ada 2 Proyek CCS di RI, Simpan Karbon Singapura hingga Jepang

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Kemenristekdikti Ungkap Peran Kampus dalam Mempercepat Capaian SDGs
Kemenristekdikti Ungkap Peran Kampus dalam Mempercepat Capaian SDGs
Pemerintah
Tiga Lembaga Filantropi Gelar Kampanye Kesehatan Mental Remaja lewat Kompetisi Film
Tiga Lembaga Filantropi Gelar Kampanye Kesehatan Mental Remaja lewat Kompetisi Film
LSM/Figur
Ibadah Haji Bisa Lebih Ramah Lingkungan, BPKH Luncurkan Panduannya
Ibadah Haji Bisa Lebih Ramah Lingkungan, BPKH Luncurkan Panduannya
Swasta
Kemenhut Sebut 192.582 Masyarakat Mendapat Manfaat Perhutanan Sosial
Kemenhut Sebut 192.582 Masyarakat Mendapat Manfaat Perhutanan Sosial
Pemerintah
Panas Ekstrem, Bagaimana Pohon Bisa Jadi AC Alami untuk Seluruh Kota?
Panas Ekstrem, Bagaimana Pohon Bisa Jadi AC Alami untuk Seluruh Kota?
LSM/Figur
5 Tuntutan Masyarakat Sipil untuk DEN Demi Transisi Energi Berkeadilan
5 Tuntutan Masyarakat Sipil untuk DEN Demi Transisi Energi Berkeadilan
LSM/Figur
Publik Global Dukung Pajak Karbon, Apalagi jika Atasi Ketimpangan
Publik Global Dukung Pajak Karbon, Apalagi jika Atasi Ketimpangan
LSM/Figur
SIG Perbesar Kapasitas PLTS untuk Perkat Dekarbonisasi
SIG Perbesar Kapasitas PLTS untuk Perkat Dekarbonisasi
BUMN
Kepala TN Gunung Rinjani: Pendakian Harus Utamakan Keselamatan
Kepala TN Gunung Rinjani: Pendakian Harus Utamakan Keselamatan
Pemerintah
Coldplay Rilis 'EcoRecords' Lagi, Album dengan Piringan Daur Ulang
Coldplay Rilis "EcoRecords" Lagi, Album dengan Piringan Daur Ulang
Swasta
Jawaban Panjang AI Butuh Energi 50 Kali Lebih Banyak, Pengguna Perlu Bijak Bertanya
Jawaban Panjang AI Butuh Energi 50 Kali Lebih Banyak, Pengguna Perlu Bijak Bertanya
LSM/Figur
Risiko Bisnis Kian Kompleks di Tengah Krisis yang Saling Terhubung, Bagaimana Cara agar Bisa Bertahan?
Risiko Bisnis Kian Kompleks di Tengah Krisis yang Saling Terhubung, Bagaimana Cara agar Bisa Bertahan?
Swasta
19 Kecamatan di Muara Enim Dinyatakan Rawan Karhutla
19 Kecamatan di Muara Enim Dinyatakan Rawan Karhutla
Pemerintah
BRIN: Kerusakan Terumbu Karang Bikin Kita Krisis Seafood
BRIN: Kerusakan Terumbu Karang Bikin Kita Krisis Seafood
Pemerintah
Riset: Misinformasi Iklim Disebarkan Elit, Korporasi, dan Orang Pintar
Riset: Misinformasi Iklim Disebarkan Elit, Korporasi, dan Orang Pintar
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau