JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan, produktivitas kelapa di Indonesia menurun seiring dengan berkurangnya lahan perkebunan.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Hengky Novarianto, mencatat luas lahan kelapa hanya 3,3 juta hektare pada 2024. Sementara, pada 2017 luas perkebunan kelapa 3,4 juta hektare.
"Produktivitasnya rendah karena kelapa sudah tua, banyak yang tidak menggunakan benih unggul, tanaman tidak dipelihara dengan baik, terutama tidak dipupuk, serangan hama penyakit, kelapa mati, produk utama kelapa butiran dan kopra di tingkat petani," kata Hengky dalam webinar pada Sabtu (1/3/2025).
Alhasil, pendapatan petani pun makin menurun.
Hengky menyampaikan, sejauh ini telah dirilis 60 varietas kelapa unggulan. Salah satunya, jenis kelapa genjah yang bisa menghasilkan hingga 120 butir buah kelapa per tahunnya. Kata dia, ada 13 varietas kelapa genjah yang disebar. Kunggulannya, kelapa ini berbatang pendek, berbuah banyak, serta memiliki siklus hidup selama 3-4 tahun.
"Telah dirilis sebanyak 60 varitas kelapa unggul, ada kelapa genjah, kelapa dalam, kelapa hibrida, diduga sebagian kelapa semitol. Masing-masing punya keunggulan dan sifat baik tersendiri, kalau kita kombinasikan atau tanam varietas yang tepat, maka produktivitas dan produksi kelapa akan jauh meningkat," papar Hengky.
Baca juga: Konsumsi Negara Kaya Hancurkan Biodiversitas Negara Berkembang
Kelapa hibrida, hasil persilangan kelapa genjah dan kelapa dalam, menjadi solusi menggenjot produksi buah. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas kelapa hibrida di Indonesia mencapai 91.974 hektare dengan produksi 93.914 ton, yang didominasi oleh perkebunan rakyat sebesar 87 persen pada 2021.
Tantangan Perkebunan Kelapa
Hengky menyatakan bahwa ketersediaan benih kelapa masih belum merata. Tantangan lainnya, penggusuran lahan perkebunan untuk kepentingan proyek.
Di Paniki, Manado, misalnya, lahan yang dipersiapkan untuk perkebunan kelapa sejak tahun 2000-2007 justru dijadikan sebagai lokasi pacuan kuda.
"Kelapa yang tergusur di Paniki pada waktu itu ada 18 jenis, ada 2.178 pohon ada yang belum produktif, baru ditanam 400 pohon. Total digusur 3.000 pohon, disiapkan untuk lahan berpacu kuda," ungkap Hengky.
Hengky menuturkan, banyak aksesi atau varietas kelapa yang diintroduksi dari negara tertentu untuk dikembangkan. Akan tetapi, sumber benih dari pohon induknya masih sangat terbatas. Peneliti juga membutuhkan waktu tiga tahun untuk mengobservasi jenis kelapa terbaru.
"Jika menjadi varietas unggul nasional, wajib membangun kebun induk untuk memurnikan varitas unggul tersebut melalui seleksi positif dan negatif," jelas Hengky.
"Kenyataannya sudah lulus (pengujian), pemda kabupaten kebanyakan janji menyediakan lahan untuk membangun kebun induk supaya dimurnikan, tetapi hampir tidak ada yang jalan," lanjut dia.
Baca juga: Separuh Negara Dunia Tak Punya Rencana Perlindungan Biodiversitas
Di sisi lain, Badan Standardisasi Instrumen Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan, dari 60 varietas kelapa nasional yang dilepas, 53 di antaranya dirilis oleh Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Palma.
Balai tersebut sebelumnya bernama Balai Penelitian Tanaman Palma, Badan Standardisasi Instrumen Pertanian, sebuah badan penelitian dan pengembangan pertanian yang menjadi bagian satuan kerja dari Kementerian Pertanian.
Di sisi lain, tujuh varietas yang dilepas dalam kurun 2022-2024, pengamatan awal calon varietasnya dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Palma.
Judul dan isi artikel ini telah direvisi pada Kamis (5/3/2025) untuk menyesuaikan hak jawab dari Badan Standardisasi Instrumen Pertanian.
Baca juga: BRIN Kembangkan Varietas Jagung Tahan Hama dan Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya