JAKARTA, KOMPAS.com - Sampah plastik, khususnya dari kemasan kecil air minum dalam kemasan (AMDK), terus menjadi sorotan karena dominasi jumlahnya di tempat pembuangan akhir (TPA).
Laporan dari Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) pada 2023 mencatat bahwa gelas plastik AMDK menempati posisi kedua sebagai sampah plastik terbanyak di enam kota besar di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah plastik, terutama yang berasal dari kemasan kecil, masih belum optimal.
Meski kesadaran masyarakat dalam memilah dan mendaur ulang sampah terus didorong, para narasumber menegaskan bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah plastik tidak bisa hanya dibebankan kepada konsumen dan pemulung.
Produsen memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa kemasan produk mereka tidak berakhir menjadi sampah yang sulit terurai di lingkungan.
Baca juga: Murah tapi Sulit Didaur Ulang, Alasan Sampah Gelas Plastik AMDK Membludak
Hal itu diungkapkan Ahmad Safrudin dari Konsorsium Pengelolaan Sampah Net Zero (NZWMC) dalam acara Kompas.com Talks bertajuk "Mitos Vs Fakta: Benarkah Semua Plastik Adalah Sampah?" yang digelar di Aroem Resto and Cafe Jakarta, Jumat (21/2/2025).
CEO Kita Bumi Global, Hadiyan Fariz Azhar, mengamini hal itu. Menurutnya, produsen harus mempertimbangkan dampak lingkungan sebelum memproduksi suatu kemasan.
Ia menyoroti bahwa beban pengelolaan sampah selama ini lebih banyak ditanggung oleh masyarakat dan pemulung, sementara produsen sering kali lepas tangan.
“Sampai kapan mau bergantung? Kalau produsen dari awal bikin produk yang susah didaur ulang, ya jelas sampahnya bakal menumpuk terus. Indonesia perlu memiliki tata kelola sampah (waste management) yang apik dan terstruktur,” tegasnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan sampah plastik kemasan kecil adalah rendahnya nilai ekonomi yang dimiliki.
Gelas plastik AMDK, misalnya, sulit didaur ulang karena ukurannya yang kecil dan materialnya yang terdiri dari beberapa komponen. Sudah begitu, sering kali masih tercampur cairan. Ini yang membuat sampah jenis ini tidak memiliki nilai jual bagi pemulung.
Baca juga: Saset dan Gelas Plastik Sekali Pakai Dominasi TPA di 6 Kota Indonesia
Selain itu, faktor penyusutan dalam proses daur ulang juga menjadi kendala. Gelas plastik mengalami penyusutan hingga 60 persen.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan dorongan regulasi dan kebijakan yang lebih ketat terhadap produsen.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep extended producer responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas pengelolaan sampah plastik mereka. Namun, dalam implementasinya, masih banyak produsen yang belum benar-benar menjalankan tanggung jawab ini.
Baca juga: AMDK Gelas Plastik adalah Desain Produk Buruk, Lebih Baik Dilarang
Alternatif yang dapat dilakukan adalah mendorong industri untuk beralih ke kemasan yang lebih besar dan lebih mudah didaur ulang, seperti botol atau galon berbahan polyethylene terephthalate (PET) yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dalam rantai daur ulang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya