KOMPAS.com - Penelitian yang dipublikasikan di Earth's Future menemukan hampir 2 miliar orang di seluruh dunia bisa menghadapi perubahan pola curah hujan yang diakibatkan oleh pemanasan global.
Perubahan pola curah hujan ini bahkan menurut peneliti bisa terjadi secara permanen dan menyebabkan beberapa wilayah akan menghadapi curah hujan yang lebih sedikit. Sementara di area lain akan terendam banjir.
Suhu permukaan rata-rata Bumi saat ini sudah sekitar 1,2 derajat C, lebih tinggi dari tingkat pra-industri, dengan tahun 2024 tercatat sebagai tahun yang pernah tercatat.
Namun dalam studi baru ini, peneliti mengamati apa yang akan terjadi jika suhu global naik hingga 1,5 derajat C bahkan hanya untuk beberapa dekade.
Melansir Live Science, Jumat (30/5/2025) peningkatan suhu global seperti itu dapat berdampak permanen pada Intertropical Convergence Zone (ITCZ).
ITCZ merupakan wilayah penting di dekat khatulistiwa tempat angin dari kedua belahan bumi bertemu dan menyebabkan hujan lebat di daerah tropis.
Baca juga: India Alami Musim Hujan Paling Dini dalam 14 Tahun, Bawa Berkah Sekaligus Musibah
ITCZ sangat memengaruhi pola hujan tapi pemanasan global dapat menyebabkan ITCZ bergeser ke selatan.
Pergeseran ini akan mengubah durasi dan intensitas musim hujan dan kemarau, terutama di wilayah-wilayah vital seperti Afrika, Amazon, dan Asia Tenggara.
Akibatnya, beberapa daerah akan mengalami hujan berlebihan dan daerah lain akan mengalami kekeringan parah.
Kondisi ekstrem tersebut akan membawa dampak buruk yang menghancurkan bagi pertanian, keseimbangan ekosistem, dan ketersediaan air bersih bagi sebagian besar penduduk Bumi.
Posisi dan perilaku ITCZ dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor kunci adalah sistem arus samudra raksasa di Atlantik yang disebut Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC).
Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa AMOC ini sedang melemah, dan pelemahan ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim.
Dalam studinya, para peneliti menggunakan dua skenario yang berbeda untuk menguji hipotesis mereka.
Kedua skenario ini dijalankan menggunakan delapan "Model Sistem Bumi" (Earth System Models/ESMs) yang berbeda.
Salah satu skenario yang mereka gunakan adalah skenario "idealized".
Dalam skenario ini, mereka menyimulasikan bagaimana pola curah hujan akan berubah jika konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer meningkat sebesar 1 persen per tahun selama 140 tahun, lalu menurun dengan laju yang sama selama 140 tahun berikutnya.
Skenario ini, menurut penulis utama Norman Steinert yang juga peneliti di Center for International Climate Research, Norwegia tidak realistis dalam konteks dunia nyata.
Akan tetapi itu merupakan metode sederhana untuk menilai dampak kenaikan dan penurunan suhu global terhadap iklim.
Para peneliti juga menganalisis skenario yang dianggap lebih mendekati kenyataan.
Skenario ini mengasumsikan bahwa emisi global akan terus meningkat hingga tahun 2040.
Namun, setelah tahun 2040, dunia akan melakukan upaya pengurangan emisi yang sangat agresif untuk menurunkan kembali suhu rata-rata global yang telah meningkat.
Berdasarkan skenario tersebut, peneliti kemudian menemukan terjadi pergeseran signifikan pada ITCZ yang berpotensi menyebabkan pergolakan besar pada pola hujan di sebagian besar dunia.
Baca juga: Jakarta Banjir, BPBD Ungkap Alasan Hujan Masih Memgguyur di Musim Kemarau
Afrika Tengah dan Barat serta sebagian Asia Tenggara dapat menghadapi curah hujan yang berkurang, sedangkan Brasil timur laut akan terendam banjir.
Waktu dan intensitas pola cuaca tersebut dapat mengganggu kehidupan miliaran orang serta mempersulit pertanian yang bergantung pada pola cuaca yang konsisten.
Secara total, 23 persen populasi dunia dan lebih dari 12 persen wilayah daratan global dapat terkena dampak.
Richard Allan, seorang profesor ilmu iklim di University of Reading di Inggris, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut mengungkapkan ini merupakan studi yang penting karena menyangkut persediaan air.
Steinert juga menambahkan penelitian ini akan lebih membantu jika bisa melihat hasil lokal dan spesifik untuk tempat-tempat yang mungkin terdampak oleh perubahan pola cuaca akibat pemanasan iklim.
"Namun cara terbaik untuk menghindari risiko ini adalah dengan mengurangi emisi sesegera mungkin," kata Steinert.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya