KOMPAS.com — Berdasarkan analisis terbaru dari Pusat Kebijakan Pembangunan Global (PDB) di Universitas Boston (BU) AS, hampir 70 persen investasi Tiongkok di sektor kelistrikan luar negeri pada 2022 hingga 2023 dialokasikan ke energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
Untuk pertama kalinya, investasi ini melampaui pembiayaan untuk energi fosil sejak Beijing mulai mendukung proyek kelistrikan di luar negeri pada awal 2000-an.
Sementara itu, menurut laporan Inside Climate News, pergeseran ini mencerminkan semakin kuatnya posisi China dalam teknologi energi hijau dan rantai pasokan mineral penting yang menunjangnya.
Baca juga: Cetak Rekor, Pembangkit EBT Suplai 32 Persen Listrik Dunia pada 2024
“Pada September 2021, Presiden Tiongkok Xi Jinping menyatakan bahwa negaranya akan menghentikan pendanaan pembangkit listrik tenaga batubara baru di luar negeri, dan sebaliknya meningkatkan dukungan terhadap proyek energi terbarukan,” bunyi pernyataan kebijakan yang dikutip para peneliti dari BU GDP Center, sebagaimana dilansir Ecowatch, Jumat (30/5/2025).
Selain itu, laporan berjudul No New Coal: A Shift in the Composition of China’s Overseas Power Plant Portfolio mengevaluasi bagaimana Tiongkok menjalankan janji tersebut sejak 2021.
Laporan ini juga memberikan gambaran tentang data emisi karbon dioksida, kapasitas dan komposisi energi, serta daftar investor pembangkit listrik luar negeri milik China.
Pembaruan data dalam Basis Data Tenaga Listrik Global Tiongkok, yang dikelola oleh BU GDP Center, juga menyertakan informasi baru tentang portofolio pembangkit listrik luar negeri Tiongkok.
Penulis laporan mencatat bahwa susunan pendanaan proyek energi luar negeri oleh lembaga pembiayaan pembangunan dan investasi asing langsung Tiongkok telah bergeser.
Kini, 68 persen dari pendanaan tersebut dialokasikan ke energi hijau. Sejak 2021, tidak ada proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru yang didanai.
Namun, temuan ini tidak sepenuhnya sederhana. Data menunjukkan bahwa total nilai investasi energi justru menurun, dan sebagian besar investasi yang masih ada tetap menghasilkan emisi karbon yang tinggi.
Para peneliti, seperti dilaporkan Inside Climate News, menyebut bahwa proyek pembangkit listrik tenaga batu bara yang tetap berjalan dan akan menghasilkan emisi karbon selama puluhan tahun ke depan.
Baca juga: Pemerintah Baru Gunakan EBT 15 GW untuk Listrik, Sisanya Didominasi Energi Fosil
Jika seluruh proyek tersebut rampung, maka emisi karbon tahunan yang dihasilkan setara dengan emisi satu negara seperti Austria, menurut analisis tersebut.
Faktor lain yang menghambat peralihan total ke energi terbarukan dalam portofolio luar negeri China adalah turunnya keseluruhan nilai investasi asing langsung negara itu sejak puncaknya pada 2016.
“Pergeseran ini belum menunjukkan lonjakan besar pada energi terbarukan karena skala pembiayaannya masih tergolong kecil,” kata para peneliti.
Hanya 3 gigawatt kapasitas tenaga angin dan surya yang didanai pada 2022 dan 2023. Sebagai perbandingan, rata-rata kapasitas dari total investasi listrik luar negeri Tiongkok pada periode 2013 hingga 2019 mencapai 16 gigawatt.
“Pembiayaan energi global Tiongkok memang semakin mendukung transisi hijau. Tapi, batubara kemungkinan tetap menjadi bagian dari portofolio investasi listrik luar negeri karena proyek-proyek lama masih berjalan,” ujar para peneliti.
Baca juga: Ekonom: Investor Bakal Buru Saham Perdana Perusahaan EBT
Namun, menurutnya, inisiatif seperti Kemitraan Investasi dan Keuangan Hijau (GIFP) yang diumumkan dalam Forum Sabuk dan Jalan 2023 bisa mendorong pembangunan berkelanjutan dan membantu negara-negara berkembang mencapai target energi hijau mereka.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya