KUPANG, KOMPAS.com - Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) sekaligus Direktur Jenderal) Dirjen Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, Julmansyah, bertemu Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melki Laka Lena, untuk membahas percepatan hutan adat di wilayah NTT, Rabu (4/6/2025).
Saat bertemu dengan Melki Laka Lena, Julmansyah didampingi Kepala Dinas LHK Provinsi NTT, Ondy C. Siagian, Kepala Subdit Penangangan Konflik Tenurial Kawasan Hutan Dit. PKTHA Dirjen Perhutanan Sosial, Wahyu Trimurti, Kepala Balai Perhutanan Sosial Kupang, Erwin dan sejumlah pejabat lainnya.
Dalam pertemuan itu, Julmansyah menyinggung soal Suku Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang selama ini selalu dekat dengan alam dan terus melestarikan hutan.
Julmansyah berharap, pemerintah provinsi dan Kabupaten TTS khususnya, bisa membantu mempercepat proses penetapan hutan adat khusus bagi masyarakat Suku Boti, melalui peraturan daerah (Perda).
"Kami sekarang di Kementerian Kehutanan sudah ada Satgas (Satuan Tugas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 144 Tahun 2025. Untuk itu kami bertemu dan berdialog dengan Gubernur NTT dan teman-teman balai di sini. Kami sampaikan ke gubernur soal masyarakat Suku Boti," kata Julmansyah, kepada Kompas.com, Rabu siang.
Masyarakat Suku Boti lanjut dia, punya kearifan lokal yang kuat yang sudah terwadah dalam masyarakat adat.
"Suku Boti itu menarik karena punya ruang hidupnya 17.000 hektar, sehingga harus didorong penetapan hutan adat. Kami dari Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat tetap mendorong itu," ujar dia.
Julmansyah menyebut, masyarakat Suku Boti punya kearifan menjaga hutan agar tetap lestari, pranata kehidupan masih ada dan fungsional dan hukum adat masih tetap berjalan hingga saat ini. "Itu yang kita apresiasi," kata dia.
Menurut Julmansyah, jika masyarakat hukum adat Boti telah ditetapkan, maka proteksinya akan sangat kuat.
"Harapannya, semakin banyak pengakuan hutan adat, maka semakin banyak ruang ruang hidup masyarakat adat yang bisa diproteksi lingkungannya," ujarnya.
Dalam pertemuan itu juga, Julmansyah menjelaskan soal program pembangunan terencana Pemerintah Indonesia yang didanai oleh Pemerintah Jerman melalui KFW (Kreditanstalt für Wiederaufbau atau Bank Pembangunan Jerman) .
Program itu bertujuan untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam rangka menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan melalui perlindungan iklim dan sumber daya alam, untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca serta berkontribusi pada pengentasan kemiskinan masyarakat pedesaan di kawasan hutan.
Baca juga: Masyarakat Adat Sorong Siap Kembangkan Pariwisata Berkelanjutan
Lokus program berada di empat kabupaten yakni Kabupaten Madiun (Jawa Timur), Kabupaten Garut (Jawa Barat), Kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Sikka (NTT).
Dia menjelaskan, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak, hutan adat oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan tetap menjaga keseimbangan meningkatkan lingkungan (masyarakat sejahtera, hutan lestari).
Saat ini, lanjut dia, proyek FP-V di Kabupaten Sikka sudah mendukung 24 kelompok perhutanan sosial yang berada di 24 desa di Kabupaten Sikka sejak tahun 2022.
Tahun 2025, mendorong pemanfaatan BUMDER Air yang ada di areal perhutanan sosial. Selain itu, ada juga dukungan dari Pemerintah Jerman (Selain Project FP-V) untuk memfasilitasi percepatan penetapan hutan adat di 19 Provinsi, yang direncanakan juga di NTT.
Untuk menetapkan hutan adat, perlu adanya Perda yang mengakui kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA) tersebut.
"Karena ini perlu adanya upaya pihak Bupati maupun Sekda untuk mempercepat proses penetapan hutan adat. Berdasarkan diskusi kami kemarin bersama Kadis DLHK NTT, kami semua sepakat untuk mempercepat MHA Boti di Kabupaten TTS. Karena moto kami, hutan sejahtera, masyarakat lestari juga akan dikombinasikan di dalam masyarakat adat," kata dia.
Gubernur NTT Melki Laka Lena, mengatakan, salah satu benteng lingkungan hidup di NTT itu adalah masyarakat adat.
Terkait isu lingkungan di NTT, saat ini lebih banyak merespons daripada mengantisipasi.
"Tugas kita mengedukasi, contohnya edukasi tentang pengelolaan sampah yang baik. Saya senang hati apabila NTT menjadi perhatian. Isu lingkungan banyak disupport oleh lembaga international, sehingga mungkin bisa dibantu program apa yang cocok untuk (diterapkan) di NTT,"ujar Melki.
Menurut Melki, seringkali isu kehutanan dan pembangunan bertabrakan (atau tidak selaras). Contohnya dalam (industri) pertambangan, yang sering dikatakan merusak lingkungan.
Namun, apabila pertambangan benar-benar menjalankan standar operasional prosedur dengan baik, maka lingkungan akan tetap terjaga dan melaksanakan mitigasi.
Baca juga: Perempuan, Masyarakat Adat, dan Pemuda Jadi Bagian dari Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya