Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seluas 17.000 Hektar, Ruang Hidup Suku Boti Perlu Segera Jadi Hutan Adat

Kompas.com, 5 Juni 2025, 09:01 WIB
Sigiranus Marutho Bere,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KUPANG, KOMPAS.com - Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) sekaligus Direktur Jenderal) Dirjen Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, Julmansyah, bertemu Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melki Laka Lena, untuk membahas percepatan hutan adat di wilayah NTT, Rabu (4/6/2025). 

Saat bertemu dengan Melki Laka Lena, Julmansyah didampingi Kepala Dinas LHK Provinsi NTT, Ondy C. Siagian, Kepala Subdit Penangangan Konflik Tenurial Kawasan Hutan Dit. PKTHA Dirjen Perhutanan Sosial, Wahyu Trimurti, Kepala Balai Perhutanan Sosial Kupang, Erwin dan sejumlah pejabat lainnya. 

Dalam pertemuan itu, Julmansyah menyinggung soal Suku Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang selama ini selalu dekat dengan alam dan terus melestarikan hutan. 

Julmansyah berharap, pemerintah provinsi dan Kabupaten TTS khususnya, bisa membantu mempercepat proses penetapan hutan adat khusus bagi masyarakat Suku Boti, melalui peraturan daerah (Perda). 

"Kami sekarang di Kementerian Kehutanan sudah ada Satgas (Satuan Tugas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 144 Tahun 2025. Untuk itu kami bertemu dan berdialog dengan Gubernur NTT dan teman-teman balai di sini. Kami sampaikan ke gubernur soal masyarakat Suku Boti," kata Julmansyah, kepada Kompas.com, Rabu siang. 

Masyarakat Suku Boti lanjut dia, punya kearifan lokal yang kuat yang sudah terwadah dalam masyarakat adat

"Suku Boti itu menarik karena punya ruang hidupnya 17.000 hektar, sehingga harus didorong penetapan hutan adat. Kami dari Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat tetap mendorong itu," ujar dia. 

Julmansyah menyebut, masyarakat Suku Boti punya kearifan menjaga hutan agar tetap lestari, pranata kehidupan masih ada dan fungsional dan hukum adat masih tetap berjalan hingga saat ini. "Itu yang kita apresiasi," kata dia. 

Menurut Julmansyah, jika masyarakat hukum adat Boti telah ditetapkan, maka proteksinya akan sangat kuat. 

"Harapannya, semakin banyak pengakuan hutan adat, maka semakin banyak ruang ruang hidup masyarakat adat yang bisa diproteksi lingkungannya," ujarnya. 

Dalam pertemuan itu juga, Julmansyah menjelaskan soal program pembangunan terencana Pemerintah Indonesia yang didanai oleh Pemerintah Jerman melalui KFW (Kreditanstalt für Wiederaufbau atau Bank Pembangunan Jerman) .

Program itu bertujuan untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam rangka menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan melalui perlindungan iklim dan sumber daya alam, untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca serta berkontribusi pada pengentasan kemiskinan masyarakat pedesaan di kawasan hutan.  

Baca juga: Masyarakat Adat Sorong Siap Kembangkan Pariwisata Berkelanjutan

Lokus program berada di empat kabupaten yakni Kabupaten Madiun (Jawa Timur), Kabupaten Garut (Jawa Barat), Kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Sikka (NTT).

Dia menjelaskan, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak, hutan adat oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan tetap menjaga keseimbangan meningkatkan lingkungan (masyarakat sejahtera, hutan lestari).

Saat ini, lanjut dia, proyek FP-V di Kabupaten Sikka sudah mendukung 24 kelompok perhutanan sosial yang berada di 24 desa di Kabupaten Sikka sejak tahun 2022. 

Tahun 2025, mendorong pemanfaatan BUMDER Air yang ada di areal perhutanan sosial. Selain itu, ada juga dukungan dari Pemerintah Jerman (Selain Project FP-V) untuk memfasilitasi percepatan penetapan hutan adat di 19 Provinsi, yang direncanakan juga di NTT. 

Untuk menetapkan hutan adat, perlu adanya Perda yang mengakui kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA) tersebut. 

"Karena ini perlu adanya upaya pihak Bupati maupun Sekda untuk mempercepat proses penetapan hutan adat. Berdasarkan diskusi kami kemarin bersama Kadis DLHK NTT, kami semua sepakat untuk mempercepat MHA Boti di Kabupaten TTS. Karena moto kami, hutan sejahtera, masyarakat lestari juga akan dikombinasikan di dalam masyarakat adat," kata dia. 

Gubernur NTT Melki Laka Lena, mengatakan, salah satu benteng lingkungan hidup di NTT itu adalah masyarakat adat. 

Terkait isu lingkungan di NTT, saat ini lebih banyak merespons daripada mengantisipasi. 

"Tugas kita mengedukasi, contohnya edukasi tentang pengelolaan sampah yang baik. Saya senang hati apabila NTT menjadi perhatian. Isu lingkungan banyak disupport oleh lembaga international, sehingga mungkin bisa dibantu program apa yang cocok untuk (diterapkan) di NTT,"ujar Melki. 

Menurut Melki, seringkali isu kehutanan dan pembangunan bertabrakan (atau tidak selaras). Contohnya dalam (industri) pertambangan, yang sering dikatakan merusak lingkungan. 

Namun, apabila pertambangan benar-benar menjalankan standar operasional prosedur dengan baik, maka lingkungan akan tetap terjaga dan melaksanakan mitigasi. 

Baca juga: Perempuan, Masyarakat Adat, dan Pemuda Jadi Bagian dari Iklim

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau