JAKARTA, KOMPAS.com - Forest Watch Indonesia (FWI) menilai, rencana Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) harus menjadi momentum perubahan paradigma kolonial dalam pengelolaan hutan di Indonesia.
Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, mengatakan UU Kehutanan perlu diubah total. Sebab, sudah tak relevan dengan tantangan kerusakan hutan yang rata-rata mencapai 689.000 hektare per tahun.
Melalui RUU tersebut, pemerintah juga didesak melakukan tata kelola hutan dengan memberi pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat maupun penduduk lokal sebagai penjaga hutan yang sah.
"Jika tidak (diubah), Indonesia terancam gagal mencapai target pengurangan emisi di sektor FOLU,” ungkap Anggi dalam keterangannya, Selasa (10/6/2025).
Baca juga: 3 Kali Masuk Prolegnas, RUU Masyarakat Adat Tetap Macet Sejak 2009
Dia menyampaikan, ada tiga pijakan utama pengubahan RUUK. Pertama, pentingnya mengubah paradigma kolonial yang tidak adil dalam memaknai hak menguasai negara.
Anggi berpandangan, klaim Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare wilayah daratan dan perairan ke dalam bentuk kawasan hutan milik negara merupakan penetapan sepihak.
Pasalnya, dalam anotasi Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 tahun 2011, terdapat empat proses pengukuhan kawasan hutan yakni penunjukan, penata batasan, pemetaan, dan penetapan.
“Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan Kementerian Kehutanan cacat dalam proses penata batasan kawasan. Kawasan hutannya legal tetapi tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat dan lokal di tapak," kata Anggi.
"Bahkan anomali penetapan kawasan hutan melonjak 20 kali lipat dalam setahun terakhir, yang biasa rata-rata per tahunnya hanya 500.000 hektare,” imbuh dia.
Baca juga: Mandek 15 Tahun, Bahas Segera RUU Kehutanan demi Hak Masyarakat Adat
Selain itu, Revisi UU Kehutanan harus mampu menolak berbagai bentuk kamuflase pembangunan berkelanjutan.
Terakhir, RUUK secara tegas harus mengakomodasi maupun mengimplementasikan Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95 yang menjunjung tinggi hak masyarakat adat.
“RUUK harus dikawal ketat agar narasi hijau tidak terus dipakai untuk mengabaikan hak ulayat dan merampas ruang hidup masyarakat,” tutur perwakilan Walhi Jambi, Oscar Anugrah.
Kepala LPPM Universitas Mataram, Andi Chairil Ichsan, mengungkapkan RUUK bukan sekadar dokumen hukum tetapi cerminan memahami ulang makna hutan, memperbaiki struktur tata kelola, dan memastikan kekuasaan atas hutan tidak lagi dimonopoli.
Hutan juga dibagi secara adil dan transparan demi masa depan sosial ekologis yang berkeadilan.
Baca juga: Masyarakat Sipil Dorong RUU Kehutanan Berpihak Perlindungan Rimba dan Masyarakat Adat
Pengakuan hak masyarakat dan tata kelola hutan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel perlu menjadi roh UU Kehutanan yang baru termasuk pada tahap pengukuhan, perizinan, pengawasan, serta penegakan hukumnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya