Ia juga menyebut bahwa penggunaan bukti ilmiah, seperti DNA kayu, bisa menjadi game changer dalam penegakan hukum kehutanan. Namun, ia mengingatkan bahwa bukti ilmiah tidak bisa berdiri sendiri tanpa prosedur hukum yang benar.
“Kami butuh rantai pembuktian yang lengkap. Mulai dari penyitaan, pengamanan barang bukti, hinga analisis DNA, semuanya harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya.
Menurut Asnath, meski belum termasuk dalam kategori alat bukti elektronik, potensi itu juga terbuka lebar. Bila kelak database DNA kayu tersimpan secara digital, maka datanya bisa masuk ke dalam kategori alat bukti elektronik berdasarkan UU ITE.
Saat ini, pembalakan liar diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Beleid ini menjadi payung hukum utama dalam penanganan pembalakan liar dan perusakan hutan secara umum.
Selain itu, ada pula juga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Forensik DNA kayu memang belum menjadi alat utama dalam pemberantasan kejahatan kehutanan di Indonesia. Namun, beberapa kasus telah menunjukkan potensi forensik DNA kayu dalam memperkuat dakwaan. Kemampuan untuk memberikan pembuktian ilmiah yang kuat menjadikan DNA kayu senjata penting di masa depan.
Iskandar menilai bahwa potensi teknologi DNA kayu tidak hanya untuk penegakan hukum, tetapi juga untuk meningkatkan transparansi industri kehutanan. Ketika kayu Indonesia dapat dibuktikan keabsahannya melalui bukti ilmiah, kepercayaan pasar global pun akan meningkat.
“Ini PR besar kita bersama. Teknologi ini bisa membantu menaikkan harga kayu legal, menekan kayu ilegal, dan memperkuat sistem verifikasi legalitas. Tapi, perlu kerja bersama (untuk mewujudkannya),” ucap dia.
Baca juga: Peneliti BRIN: Gesekan Ranting Kayu hingga Petir Tak Mungkin Sebabkan Karhutla
Di sisi lain, Iskandar tak memungkiri bahwa implementasi teknologi DNA kayu belum optimal lantaran keterbatasan sumber daya dan biaya serta ketidaktersediaan regulasi teknis yang spesifik tentang forensik DNA kayu di tingkat nasional.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi antarlembaga untuk memperkuat pemanfaatan forensik kayu.
Iskandar mencontohkan bahwa kerja sama antara IPB, Kemenhut, BRIN, WRI Indonesia, serta aparat penegak hukum dapat menjadi kunci untuk memperkuat pemanfaatan forensik kayu.
Selain itu, peran masyarakat sipil dan lembaga internasional dalam mendukung pendanaan dan pelatihan juga sangat penting.
Ahli forensik kayu dari Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Iskandar Zulkarnaen Siregar bersama rekan-rekan peneliti kayu.Ia juga berharap pemerintah segera membentuk sistem nasional basis data DNA pohon yang terintegrasi dan terbuka bagi penegak hukum. Ini berarti pengumpulan sampel dari berbagai wilayah, pemetaan genetik, dan penyimpanan data dalam sistem terstandar. Sistem ini akan mempercepat proses identifikasi dan meningkatkan kredibilitas hasil analisis.
“Database DNA itu ibarat mata uang baru. Tanpa itu, kita tak bisa mengonfirmasi asal usul kayu. Namun, membangunnya butuh waktu, dana, dan komitmen besar. Kalau punya sistem yang kuat, tidak hanya kasus besar yang bisa kita ungkap, tetapi juga kejahatan-kejahatan kecil yang selama ini luput dari perhatian,” ujar Iskandar.
Baca juga: Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
Langkah lainnya adalah mendorong penerbitan regulasi teknis dan standar operasional prosedur (SOP) untuk penggunaan bukti DNA kayu dalam proses hukum. Hal ini akan memberikan kepastian bagi aparat penegak hukum dan menjamin kualitas pembuktian di pengadilan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya