Asnath menambahkan bahwa dari sisi penegakan hukum, sinergi antara penyidik, jaksa, dan ahli juga perlu diperkuat. Prosedur hukum harus dilalui secara disiplin agar hasil forensik bisa diterima sebagai alat bukti.
“Bukan sekadar menghukum, melainkan menyelamatkan hutan. Komoditas kayu dan satwa itu warisan generasi. Kalau kita tidak bisa lindungi hari ini, apa yang akan tersisa nanti?" tegasnya.
Dalam konteks perubahan iklim global dan tuntutan internasional terhadap legalitas dan keberlanjutan produk kehutanan, teknologi DNA kayu bukan hanya menjawab tantangan hukum, melainkan juga memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.
Indonesia punya peluang besar menjadi pelopor dalam pemanfaatan sains untuk perlindungan hutan. Namun, tantangan ke depan tak ringan. Jumlah peneliti di Indonesia masih sangat terbatas. Investasi pada riset dan teknologi harus ditingkatkan.
“Kalau kita tak berikan 'karpet merah' untuk riset anak bangsa, maka informasi genetik yang penting bisa hilang sebelum bisa dimanfaatkan," ujar Iskandar.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya dukungan terhadap pendidikan sains (science), teknologi (technology), rekayasa (engineering), dan matematika (mathematics) atau STEM serta kebijakan yang memfasilitasi riset, termasuk penghapusan hambatan administratif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya