KOMPAS.com - Studi baru yang dipublikasikan di Nature mengungkap bahwa sistem pangan global menghadapi risiko yang semakin besar akibat perubahan iklim, bahkan saat petani berupaya beradaptasi.
Dengan Bumi yang sudah sekitar 1,5 derajat Celsius lebih panas daripada tingkat pra-industri, petani di banyak daerah mengalami musim kemarau yang lebih panjang, gelombang panas yang tidak sesuai musim, dan cuaca yang tidak menentu yang merusak hasil panen.
Pemodelan yang peneliti lakukan memperkirakan, pada tahun 2100, hasil panen global akan turun sebesar 11 persen jika emisi turun drastis hingga nol.
Sementara panen global bisa anjlok hingga 24 persen jika emisi terus meningkat tanpa terkendali.
Dalam jangka pendek, peneliti memperkirakan perubahan iklim akan menurunkan hasil panen global sebesar 8 persen pada tahun 2050. Penurunan itu terlepas dari seberapa banyak emisi naik atau turun dalam beberapa dekade mendatang.
Para peneliti juga memperkirakan bahwa setiap kenaikan suhu global sebesar 1 derajat Celsius secara rata-rata akan menurunkan kemampuan dunia untuk memproduksi pangan sebanyak 120 kalori per orang per hari atau 4,4 persen dari konsumsi harian saat ini.
Baca juga: Bioteknologi Kurangi Emisi Pertanian, Selamatkan 231 Juta Hektar Lahan
"Ketika produksi global turun, konsumen dirugikan karena harga naik dan semakin sulit untuk mengakses pangan dan memberi makan keluarga kita," kata Solomon Hsiang, profesor ilmu sosial lingkungan di Stanford Doerr School of Sustainability dan penulis senior studi tersebut.
"Jika iklim menghangat hingga 3 derajat, itu pada dasarnya seperti semua orang di Bumi tidak sarapan," katanya lagi, dikutip dari Phys, Jumat (20/6/2025).
Itu adalah biaya yang tinggi bagi dunia di mana lebih dari 800 juta orang terkadang tidak makan sehari atau lebih karena akses yang tidak memadai.
Penelitian ini mengacu pada pengamatan dari lebih dari 12.000 wilayah di 55 negara.
Tim peneliti kemudian menganalisis biaya adaptasi dan hasil panen untuk tanaman yang menyediakan dua pertiga kalori manusia yakni gandum, jagung, beras, kedelai, jelai, dan singkong.
Penelitian baru ini adalah yang pertama mengukur secara sistematis seberapa banyak petani menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi. Di banyak wilayah, misalnya, petani mengganti varietas tanaman, menggeser tanggal tanam dan panen, atau mengubah penggunaan pupuk.
Tim peneliti memperkirakan bahwa penyesuaian atau upaya adaptasi dapat mengkompensasi sekitar sepertiga dari kerugian terkait iklim pada tahun 2100, jika emisi gas rumah kaca terus meningkat.
Meskipun ada upaya adaptasi, dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi pertanian global tidak dapat sepenuhnya dihilangkan. Sebanyak dua pertiga dari kerugian tersebut masih akan tetap ada.
Baca juga: Lahan Pertanian Mengandung Mikroplastik 23 Kali Lebih Banyak dari Lautan
"Pada tingkat pemanasan mana pun, bahkan ketika memperhitungkan adaptasi, ada kerugian produksi global dari pertanian," kata penulis utama studi Andrew Hultgren.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya