Namun, hingga kini hal itu belum kunjung terwujud. Tanpa kepastian batas kawasan hutan, izin-izin baru terus dikeluarkan tanpa batas perlindungan ekologis yang jelas.
Bahkan tambang-tambang legal merambah kawasan konservasi, kawasan yang semestinya dijaga ketat.
Tekanan pembangunan infrastruktur juga menambah beban kawasan hutan. Proyek-proyek jalan tol di Jawa dan Sumatera, misalnya, memicu pembukaan lahan baru.
Baca juga: Politik Narcissus di Negeri Para Ketua
Dari total 458 daerah aliran sungai di Indonesia, 60 sudah dalam status kritis berat, dan 222 berstatus kritis sedang. Jika tutupan hutan terus berkurang, kemampuan DAS dalam menyimpan air bersih dan mencegah banjir akan semakin rapuh.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 menyebut sekitar 3,37 juta hektar perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan.
Dari jumlah itu, 2,3 juta hektar berada di kawasan hutan produksi, sisanya bahkan masuk ke kawasan konservasi yang semestinya steril dari aktivitas industri sawit.
Secara prinsip, sawit hanya diperbolehkan di area penggunaan lain (APL), bukan di kawasan hutan. Namun, celah regulasi seperti izin pelepasan kawasan hutan atau izin pinjam pakai membuka jalan sawit masuk ke hutan.
Peraturan Menteri LHK Nomor P.17/2021, misalnya, memberi peluang legalisasi sawit yang sudah terlanjur berada di kawasan hutan lewat skema PPTKH (penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan).
Sayangnya, legalisasi itu sering hanya formalitas. Tidak ada proses inventarisasi nilai konservasi tinggi, padahal hutan primer yang hilang tidak bisa digantikan.
Kebun sawit monokultur menggantikan hutan alam, memiskinkan keanekaragaman hayati, serta mempercepat pelepasan emisi karbon.
Hingga kini, lebih dari 1 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan statusnya belum jelas karena proses sertifikasi lahan berlarut-larut, disertai konflik kepentingan.
Akibat berbagai praktik ini, kawasan hutan Indonesia terus tergerus. Dari sekitar 125,66 juta hektar kawasan hutan administratif pada 1980-an, kini hanya tersisa 95 juta hektar (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030).
Artinya, dalam beberapa dekade terakhir, kita telah kehilangan lebih dari 30 juta hektar. Lebih menyedihkan lagi, hanya sekitar 47 juta hektar dari angka itu yang benar-benar masih berfungsi sebagai hutan alam.
Baca juga: Korupsi dan Integritas Tusuk Sate
Dampaknya amat serius. Hilangnya hutan mempercepat emisi gas rumah kaca, memperburuk krisis iklim, serta memicu bencana hidrometeorologis seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Data Bank Dunia (2022) mencatat, 75 persen bencana alam di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis yang erat kaitannya dengan degradasi ekosistem hutan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya