Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ban Aus Jadi Ancaman Tersembunyi bagi Ekosistem Perairan

Kompas.com - 05/07/2025, 13:04 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Studi baru yang dipublikasikan di Journal of Environmental Management menyoroti bagaimana ban yang terkikis akan melepaskan sejumlah zat berbahaya dan bisa mencemari ekosistem di perairan.

Peneliti khawatir efek polutan tersebut akan menimbulkan dampak buruk bagi makhluk hidup di air dan lingkungan secara keseluruhan.

Menurut peneliti, partikel ban yang terkikis masuk ke sungai dan danau terutama melalui angin dan hujan.

Partikel-partikel ini bahkan menyumbang 50 persen hingga 90 persen dari seluruh mikroplastik yang mengalir dari jalan selama hujan.

Tidak hanya itu saja, studi juga menunjukkan bahwa 45 persen dari mikroplastik yang ditemukan di tanah dan air berasal dari abrasi ban.

Partikel ban yang terlepas ke lingkungan itu tidak hanya mikroplastik biasa, tapi juga membawa senyawa-senyawa berbahaya seperti logam berat (kadmium, seng) dan bahan kimia organik (seperti 6-PPD).

Baca juga: Suarakan Darurat Lingkungan, Sederet Musisi Indonesia Ikuti Lokakarya IKLIM

Dan mirisnya, begitu partikel-partikel ini masuk ke sungai atau danau, zat-zat beracun itu akan larut dan mencemari air, berpotensi membahayakan kehidupan di dalamnya.

Mengutip Phys, Jumat (4/7/2025), ban mobil bukan hanya terbuat karet, melainkan mengandung 2.456 senyawa kimia.

Yang mengkhawatirkan, 144 dari senyawa tersebut bisa larut keluar menjadi air lindi dan mencemari lingkungan. Di antara zat-zat yang larut ini, terdapat beberapa polutan organik yang berbahaya, seperti 6-PPD dan turunannya, yang dikenal beracun.

Selain itu, terdapat logam berat seperti seng dan mangan dalam jumlah yang cukup banyak, serta kadmium dan timbal. Zat-zat ini digunakan untuk perlindungan ozon, sebagai antioksidan atau peliat (plasticizer), dan sebagai agen vulkanisir, penguat, serta pengisi.

"Selama proses pelindian, abrasi ban melepaskan lebih banyak bahan kimia daripada termoplastik seperti PE. Kami juga berasumsi bahwa lebih banyak zat yang terlindi daripada yang sudah kita ketahui," kata Prof. Hans-Peter Grossart, salah satu penulis studi tinjauan ini.

Partikel-partikel dari ban beserta zat-zat yang larut ini sangat berbahaya bagi makhluk hidup. Itu bisa menyebabkan kerusakan sel, mengubah DNA, merusak sistem kekebalan tubuh, serta mengganggu cara makhluk hidup mencari makan, berkembang biak, dan bahkan bertahan hidup.

Partikel-partikel ini juga bisa mengubah jenis-jenis spesies yang hidup di air, mengurangi keanekaragaman hayati, dan mengganggu rantai makanan. Lebih jauh lagi, ini akan mengacaukan siklus penting seperti siklus karbon dan nitrogen, yang esensial untuk pembentukan biomassa dan ketersediaan nutrisi di ekosistem tersebut.

Grossart juga menjelaskan bahwa masalah partikel ban yang mencemari lingkungan akan semakin parah akibat dampak perubahan iklim seperti pemanasan global dan pengasaman air.

Baca juga: Polutan Baru Picu Krisis Air dan Kenaikan Biaya Hidup di Negara Berkembang

Kondisi ini tidak hanya membuat racun dari partikel ban lebih berbahaya, tapi juga mengganggu mikroorganisme, siklus nutrisi, dan kemampuan ekosistem untuk pulih.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
IPB Ajak Guru di Kediri Rancang Pembelajaran Gizi Seimbang Berbasis EcoFun
IPB Ajak Guru di Kediri Rancang Pembelajaran Gizi Seimbang Berbasis EcoFun
LSM/Figur
Debu Setara 300 Piramida Giza Melayang per Tahun, Ancam 330 Juta Jiwa
Debu Setara 300 Piramida Giza Melayang per Tahun, Ancam 330 Juta Jiwa
Pemerintah
Asia Dominasi Produksi Listrik Bersih, tetapi Masih Terpusat di China
Asia Dominasi Produksi Listrik Bersih, tetapi Masih Terpusat di China
Pemerintah
Pertamina Lestarikan Hutan di Besakih Bali dengan Tanaman Energi
Pertamina Lestarikan Hutan di Besakih Bali dengan Tanaman Energi
BUMN
Transisi Energi Eropa: Surya Meraja, Tendang Batu Bara ke Titik Terendahnya
Transisi Energi Eropa: Surya Meraja, Tendang Batu Bara ke Titik Terendahnya
Pemerintah
Sederet Tantangan Dekarbonisasi Transportasi, dari Bahan Bakar sampai Insentif EV
Sederet Tantangan Dekarbonisasi Transportasi, dari Bahan Bakar sampai Insentif EV
LSM/Figur
Di Mana Keadilan Iklim? Yang Kaya Boros Energi, Yang Miskin Tanggung Dampaknya
Di Mana Keadilan Iklim? Yang Kaya Boros Energi, Yang Miskin Tanggung Dampaknya
LSM/Figur
Kisah Relawan RS Kapal Nusa Waluya II - PIS, dari Operasi di Tengah Ombak hingga Mendapat Buah-buahan
Kisah Relawan RS Kapal Nusa Waluya II - PIS, dari Operasi di Tengah Ombak hingga Mendapat Buah-buahan
BUMN
China Terapkan Standar Energi Terbarukan Pertama untuk Sektor Baja dan Semen
China Terapkan Standar Energi Terbarukan Pertama untuk Sektor Baja dan Semen
Pemerintah
Satgas PKH Kuasai 2 Juta Hektar Lahan Sawit, Selanjutnya Apa?
Satgas PKH Kuasai 2 Juta Hektar Lahan Sawit, Selanjutnya Apa?
Pemerintah
Dorong Capaian SDGs, ITS Gelar Pemeriksaan Gratis Deteksi Kanker untuk Perempuan
Dorong Capaian SDGs, ITS Gelar Pemeriksaan Gratis Deteksi Kanker untuk Perempuan
Swasta
Susul Bank AS, HSBC Keluar dari Aliansi Iklim Perbankan Dunia
Susul Bank AS, HSBC Keluar dari Aliansi Iklim Perbankan Dunia
Swasta
Teknologi China Tembak CO2 dan Metana, Pangkas Dua Emisi Sekaligus
Teknologi China Tembak CO2 dan Metana, Pangkas Dua Emisi Sekaligus
Pemerintah
Inovasi Perekat Rendah Emisi, Lebih Aman untuk Rumah dan Lingkungan
Inovasi Perekat Rendah Emisi, Lebih Aman untuk Rumah dan Lingkungan
Pemerintah
Ahli Ungkap 3 Strategi Pengembangan Ternak Pedaging Berkelanjutan
Ahli Ungkap 3 Strategi Pengembangan Ternak Pedaging Berkelanjutan
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau