Produksi massal belum terjadi karena tidak adanya kepastian permintaan dari sektor transportasi publik. Ketidakpastian ini membuat sektor swasta enggan berinvestasi lebih jauh.
Baca juga: Transjakarta Bisa Hemat Rp 8 Miliar per Bulan jika Pakai Bus Listrik
Selain itu, biaya awal pengadaan bus listrik memang lebih tinggi dibandingkan bus konvensional berbahan bakar solar, bensin, atau gas. Tapi dalam jangka panjang, biaya operasional dan perawatannya lebih murah.
Sayangnya, keunggulan jangka panjang ini belum cukup mendorong percepatan adopsi.
Pemerintah pusat sebenarnya telah mencantumkan elektrifikasi bus dalam berbagai rencana strategis nasional. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan 10 persen angkutan umum perkotaan menggunakan bus listrik pada 2025.
Kementerian Perhubungan juga menetapkan target elektrifikasi 90 persen angkutan umum massal perkotaan pada 2030, dan 100 persen pada 2040, termasuk Mobil Penumpang Umum (MPU) pada 2045.
Namun, ITDP menilai target-target tersebut sulit tercapai jika tanpa kerangka regulasi yang jelas dan dukungan sistemik.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan menyeluruh, mulai dari pendanaan berkelanjutan, pembenahan tata kelola, hingga keterlibatan aktif pemerintah pusat dalam mengarahkan transisi yang adil dan merata.
Tanpa itu semua, program bus listrik hanya akan menjadi proyek FOMO (Fear of Missing Out), mahal, tidak terintegrasi, dan gagal menjawab tantangan mobilitas dan krisis iklim akibat polusi kendaraan.
Baca juga: Emisi Semen Berkurang lewat Elektrifikasi dan Teknologi Penangkap Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya