JAKARTA, KOMPAS.com — Berdasarkan publikasi Ardiantiono dari University of Kent dan rekannya, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mencatat bahwa sepanjang 2010–2019 ada 665 kasus serangan buaya air asin (Crocodylus porosus) terhadap manusia di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, 47 persen berakhir dengan kematian. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menempati posisi ketiga tertinggi, dengan 67 kasus yang menyebabkan 27 korban meninggal.
“Salah satu penyebab utama meningkatnya konflik ini adalah kerusakan habitat buaya, baik untuk berkembang biak maupun untuk mencari mangsa,” tulis YKAN dalam keterangannya, Senin (7/7/2025), berdasarkan riset Ardiantiono dan rekan.
YKAN menjelaskan, serangan buaya umumnya terjadi saat manusia beraktivitas di sekitar sungai atau muara, seperti memancing, mandi, atau bekerja. Habitat utama buaya air asin adalah hutan mangrove, salah satu ekosistem paling produktif di Bumi.
Untuk mengatasi konflik antara manusia dan buaya, YKAN menjalankan Program Serumpun Babel (konservasi hutan mangrove punya Bangka Belitung) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak 2024.
Baca juga: Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Program ini bertujuan melestarikan hutan mangrove sebagai habitat buaya, sekaligus mendukung ketahanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim dan meningkatkan sumber penghidupan mereka.
Selain meminimalkan potensi konflik dengan buaya tanpa mengorbankan aktivitas sehari-hari, program ini juga mendorong masyarakat pesisir melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Melalui restorasi dan perlindungan hutan mangrove yang masih baik, YKAN bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat, dan mitra lokal.
Hutan mangrove yang sehat tidak hanya penting bagi kelangsungan hidup buaya, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan dan ekonomi masyarakat. Ekosistem ini dapat meningkatkan hasil perikanan, melindungi garis pantai dari abrasi, mengurangi emisi karbon, dan menjaga keseimbangan ekosistem yang lebih luas.
Baca juga: Hutan Mangrove Lebih Kuat dari Dugaan, Tahan Badai akibat Perubahan Iklim
Berdasarkan publikasi National Geographic, YKAN juga mencatat bahwa buaya air asin merupakan spesies reptil terbesar di dunia, dengan usia hidup hingga 70 tahun. Pejantan dewasa rata-rata memiliki panjang lima meter dan berat mencapai 450 kilogram. Sementara betina dapat bertelur hingga 50 butir dalam satu masa reproduksi.
Buaya air asin memiliki kemampuan luar biasa, seperti menahan napas di dalam air selama delapan jam untuk berkamuflase, menjadikannya predator yang sulit diprediksi. Sebagai predator puncak, buaya memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Namun, interaksi dengan manusia sering kali berujung tragis, sehingga buaya kerap dianggap sebagai ancaman.
Oleh karena itu, YKAN menekankan pentingnya menjaga keutuhan habitat alami seperti hutan mangrove. Ekosistem ini menyediakan beragam sumber makanan seperti ikan, kepiting, burung, monyet, hingga babi hutan, yang menjadi bagian penting dalam rantai makanan buaya air asin.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya