KOMPAS.com - Penelitian awal mengindikasikan bahwa perubahan iklim, khususnya peningkatan CO2 dan suhu panas, membuat makanan yang kita makan jadi kurang bergizi. Ini adalah ancaman serius bagi kesehatan kita di masa depan.
Selama ini, para peneliti lebih fokus pada seberapa banyak makanan yang dihasilkan di tengah perubahan iklim.
Tapi, penelitian terbaru ini, seperti yang diungkapkan Jiata Ugwah Ekele, mahasiswa Ph.D. di Liverpool John Moores University, Inggris, mengalihkan perhatian ke hal yang lebih penting: apakah makanan yang dipanen itu masih bergizi, bukan cuma soal jumlahnya. Karena percuma banyak kalau gizinya kurang.
Dampak perubahan iklim yang sedang berlangsung diperkirakan akan sangat merusak dan tidak bisa diperbaiki pada tanaman di seluruh dunia.
Penelitian ini pun secara spesifik melihat bagaimana gabungan antara peningkatan CO2 dan suhu panas akibat perubahan iklim dapat mengurangi nilai gizi makanan yang kita tanam.
Baca juga: Sistem Pangan Berkelanjutan Punya 3 Hambatan, Salah Satunya Makanan Murah
"Perubahan lingkungan ini dapat memengaruhi segalanya, mulai dari fotosintesis dan laju pertumbuhan hingga sintesis dan penyimpanan nutrisi dalam tanaman," kata Ekele, dikutip dari Phys, Kamis (10/7/2025).
"Sangat penting untuk memahami dampak-dampak tersebut sehingga kita dapat memprediksi dengan lebih baik bagaimana perubahan iklim akan membentuk lanskap nutrisi pangan kita dan upaya untuk memitigasi dampak-dampak itu," terangnya lagi.
Studi ini berfokus pada sayuran berdaun populer, termasuk kangkung, arugula, dan bayam.
Tanaman kemudian ditanam di ruang pertumbuhan yang terkontrol lingkungannya di Universitas Liverpool John Moores, dan tingkat CO2 serta suhu diubah untuk menyimulasikan skenario iklim masa depan yang diprediksi di Inggris.
Setelah tanaman ditanam dalam kondisi perubahan iklim, kualitas nutrisinya dianalisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) dan profil Fluoresensi Sinar-X untuk mengukur konsentrasi gula, protein, fenolik, flavonoid, vitamin, dan antioksidan.
Hasil awal dari proyek ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar CO2 di atmosfer dapat membantu tanaman tumbuh lebih cepat dan lebih besar, tetapi tidak lebih sehat.
"Setelah beberapa waktu, tanaman menunjukkan penurunan mineral penting seperti kalsium dan senyawa antioksidan tertentu," kata Ekele.
Perubahan ini diperparah oleh peningkatan suhu.
"Interaksi antara CO2 dan stres panas memiliki efek yang kompleks. Tanaman tidak tumbuh sebesar atau secepat sebelumnya dan penurunan kualitas nutrisi semakin intensif," papar Ekele.
Peneliti juga menemukan tanaman yang berbeda merespons secara berbeda terhadap stresor perubahan iklim ini, dengan beberapa spesies bereaksi lebih intens daripada yang lain.
Lebih lanjut, ketidakseimbangan nutrisi ini menimbulkan implikasi kesehatan yang serius bagi manusia.
"Perubahan keseimbangan ini dapat berkontribusi pada pola makan yang lebih tinggi kalori tetapi rendah nilai gizinya," kata Ekele.
Misalnya, kandungan gula yang meningkat pada tanaman pangan, terutama buah dan sayur, dapat menyebabkan risiko obesitas dan diabetes tipe 2 yang lebih tinggi.
Baca juga: Label Makanan Tak Jelas Picu Sampah Pangan
Tanaman pangan dengan kandungan gizi yang rendah juga dapat menyebabkan defisiensi protein dan vitamin penting yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia dan memperburuk kondisi kesehatan terutama di negara-negara berpenghasilan rendah atau menengah.
"Ini bukan hanya tentang seberapa banyak makanan yang kita tanam, tetapi juga apa yang terkandung di dalamnya dan bagaimana makanan tersebut mendukung kesejahteraan manusia dalam jangka panjang," papar Ekele.
Meskipun penelitian ini menyimulasikan proyeksi perubahan iklim di Inggris, implikasinya bersifat global.
Sistem pangan di belahan bumi utara sudah menghadapi tantangan akibat perubahan pola cuaca, musim tanam yang tidak dapat diprediksi, dan gelombang panas yang lebih sering.
Begitu juga di wilayah tropis dan subtropis, wilayah-wilayah ini juga menghadapi tekanan yang tumpang tindih seperti kekeringan, hama, dan degradasi tanah.
"Penting untuk menghubungkan ilmu tanaman dengan isu-isu kesejahteraan manusia yang lebih luas. Seiring dengan perubahan iklim yang terus berlanjut, kita harus berpikir secara holistik tentang jenis sistem pangan yang kita bangun," terang Ekele.
"Pangan lebih dari sekadar kalori. Pangan merupakan fondasi bagi pembangunan manusia dan adaptasi iklim," tambahnya.
Penelitian ini dipresentasikan pada Konferensi Tahunan Masyarakat Biologi Eksperimental di Antwerpen, Belgia, pada 8 Juli 2025.
Baca juga: Perubahan Iklim Terlalu Cepat, Hutan Pun Sulit Beradaptasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya