KOMPAS.com — Emisi formaldehida dari perekat pada produk furnitur selama ini bukan hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga berisiko terhadap kesehatan manusia.
Dalam jangka panjang, paparan zat ini bisa memicu kondisi yang dikenal sebagai sick building syndrome, gangguan kesehatan yang muncul akibat kualitas udara dalam ruangan yang buruk.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan inovasi perekat urea-formaldehida rendah emisi.
Teknologi ini tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga berbasis limbah non-kayu serta pertanian yang dinilai lebih aman untuk digunakan dalam produk rumah tangga.
“Inovasi ini kami kembangkan agar masyarakat bisa menggunakan perekat yang lebih sehat, murah, dan ramah lingkungan,” ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk BRIN, Muhammad Adly Rahandi Lubis, Senin (14/7/2025).
Menurut Adly, pengembangan perekat untuk produk panel komposit yang tidak menggunakan kayu ini telah dimulai sejak 2021 bersama Greenie Indonesia, dengan fokus pada bahan baku biomassa lokal.
Baca juga: PLTU Paiton Didorong Terapkan Co-firing Biomassa hingga CCS
Tujuannya adalah menghadirkan perekat yang tahan air sekaligus menjawab kebutuhan industri terhadap bahan produksi yang berkelanjutan.
Tidak hanya menekan pada pengurangan emisi formaldehida, teknologi ini juga membuka peluang pemanfaatan limbah dan penerapan ekonomi sirkular.
Inovasi ini diharapkan dapat mengurangi dampak pembakaran limbah serta memperkuat praktik produksi yang lebih hijau di berbagai sektor, mulai dari industri furnitur, makanan dan minuman, hingga fesyen.
“Inisiatif ini juga kami arahkan untuk memberdayakan petani non-kayu dan pengumpul sampah, sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi perempuan, pemuda, dan pekerja tidak terampil,” kata Adly.
Meski mulai mendapat perhatian dari perusahaan besar, pengembangan teknologi ini masih menghadapi kendala produksi. Kapasitas yang tersedia saat ini hanya sekitar seratus kilogram per bulan. Adly menilai, peningkatan skala industri memerlukan fasilitas dan modal besar.
Baca juga: Bukan Cuma Limbah, Ampas Kopi Bisa Jadi Beton Kuat dan Berkelanjutan
Namun, menurutnya tantangan tersebut bisa diatasi dengan berbagai strategi, seperti menjalin kerja sama produksi (maklon), menerapkan konsep B2B, memperkuat branding lewat partisipasi dalam ekspo, serta melanjutkan riset untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan teknologi.
Lebih jauh, Adly menilai pengembangan perekat berbasis limbah ini dapat mengurangi ketergantungan impor, mendorong pertumbuhan UMKM, dan memperluas penciptaan lapangan kerja baru di sektor industri furnitur hijau.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya