KOMPAS.com - Kenaikan suhu yang menyebabkan air menguap telah mendorong manusia untuk mengambil lebih banyak air tanah.
Akibatnya, pasokan air tawar untuk penduduk dunia terancam, dan permukaan laut pun ikut naik dan menciptakan tren pengeringan benua.
Temuan tersebut merupakan hasil studi Jay Famiglietti dari Arizona State University dan rekan-rekannya yang menggunakan pengukuran gravitasi dari satelit untuk memperkirakan perubahan jumlah total massa air yang tersimpan di benua.
Pengukuran tersebut mencakup semua bentuk air tawar, mulai dari sungai dan akuifer bawah tanah hingga gletser dan lapisan es.
Pengukuran kemudian menunjukkan telah terjadi penurunan air tawar yang mengkhawatirkan di banyak belahan dunia antara tahun 2002 hingga 2024.
Baca juga: Seperempat Spesies Air Tawar Terancam Punah karena Kerusakan Lingkungan
Para peneliti, seperti dikutip dari New Scientist, Jumat (25/7/2025) menemukan bahwa wilayah kering tidak hanya semakin kering tetapi juga meluas lebih dari 800.000 kilometer persegi per tahun.
Tim tersebut mengidentifikasi empat wilayah "mega-kekeringan" di mana area-area terpisah yang kehilangan air tawar kini telah terhubung, menciptakan sapuan kekeringan yang luas.
Wilayah-wilayah tersebut termasuk Kanada utara dan Rusia, di mana kehilangan air disebabkan oleh melelehnya gletser, permafrost (tanah beku abadi), dan berkurangnya salju.
Di dua wilayah lain, hilangnya air didominasi oleh penipisan air tanah, terutama akibat pemompaan untuk irigasi. Wilayah-wilayah tersebut adalah Amerika Serikat bagian Barat Daya, sebagian besar Amerika Tengah, dan wilayah yang membentang dari Eropa Barat dan Afrika Utara hingga India utara dan China.
Peneliti juga menemukan bahwa berkurangnya air tanah, yang dapat diperburuk oleh panas dan kekeringan yang mendorong orang untuk memompa lebih banyak, menyumbang 68 persen dari penurunan total penyimpanan air.
Hilangnya air tawar dari daratan ke laut sangat masif, bahkan menjadi pendorong utama kenaikan permukaan laut. Sejak 2015, jumlah air yang hilang dari benua menyebabkan permukaan laut naik lebih tinggi daripada air lelehan dari kutub, yaitu sekitar satu milimeter setiap tahun.
Para peneliti menyimpulkan bahwa semua tren ini yakni daratan yang mengering, pasokan air tawar yang berkurang, dan permukaan laut yang naik memberikan peringatan paling serius tentang dampak perubahan iklim yang pernah ada.
Baca juga: Kabul Terancam Jadi Ibu Kota Modern Pertama yang Kehabisan Air
"Yang baru dan penting dari penelitian ini adalah temuan bahwa kekeringan terjadi secara global, bukan hanya di satu-dua wilayah. Air di Bumi tidak hilang, melainkan berpindah tempat, namun perpindahannya ke arah yang salah, yaitu dari daratan ke laut," kata Manoochehr Shirzaei dari Virginia Polytechnic Institute and State University.
Lebih lanjut Benjamin Cook dari Columbia University di New York menambahkan perlu ada penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam. Tujuannya adalah untuk memastikan seberapa besar pengaruh perubahan iklim terhadap penipisan air tanah, dan seberapa besar pengaruh faktor lain seperti pemompaan air tanah yang berlebihan.
"Dengan begitu, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas," katanya.
Studi dipublikasikan di Science Advances.
sumber https://www.newscientist.com/article/2490008-we-are-undergoing-unprecedented-loss-of-freshwater-across-the-planet/
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya