KOMPAS.com - Tinjauan Bencana Alam terbaru yang diterbitkan oleh Wilis, perusahaan konsultan, pialang, dan solusi global terkemuka menyebut bencana alam bakal terus membebani pasar asuransi global.
Secara global, kerugian yang ditanggung oleh asuransi akibat bencana alam kini secara konsisten melebihi 100 miliar dolar AS setiap tahunnya.
Dan peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2025 menunjukkan bahwa kerugian yang melebihi 100 miliar dolar AS kemungkinan besar akan terus berlanjut setidaknya selama satu tahun lagi.
"Tren ini tampaknya akan terus berlanjut karena upaya global kemungkinan besar gagal untuk menjaga suhu di bawah 2 derajat C dari tingkat pra-industri. Fokus kita sekarang harus beralih ke adaptasi dan pembangunan ketahanan dalam menghadapi kenyataan baru ini," ungkap Dr. Christopher Au, Kepala Pusat Risiko Iklim APAC Willis, dikutip dari Eco Business, Rabu (30/7/2025).
Baca juga: Sektor Asuransi Tak Mampu Tawarkan Perlindungan jika Krisis Iklim Makin Parah
Tingkat keparahan dan skala bencana alam yang terjadi baru-baru ini menunjukkan perlunya menghadapi era baru cuaca ekstrem.
Para manajer risiko pun harus menilai kembali risiko yang ada, mengintegrasikan perkiraan iklim ke dalam rencana mereka, dan memastikan kerangka kerja asuransi dan risiko dioptimalkan untuk ancaman yang terus berkembang saat ini.
Selain itu juga diperlukan strategi berbasis data untuk mempersempit kesenjangan perlindungan dan tetap tangguh di dunia yang berubah dengan cepat.
“Kebakaran hutan yang terjadi di Jepang dan Korea Selatan tahun ini menandai titik balik pemahaman kita tentang risiko iklim di Asia Tenggara dan Asia Timur. Secara historis, kebakaran hutan di wilayah ini jarang terjadi dan terlokalisasi, tetapi perubahan iklim mengubah narasi tersebut," kata Dr. Au.
Musim kebakaran yang lebih panjang dan panas, curah hujan yang tidak menentu, dan perluasan pembangunan ke kawasan hutan menciptakan zona rawan kebakaran baru di mana paparan dan kerentanan bersinggungan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca juga: SBTi Rilis Standar Net Zero untuk Bank dan Investor, Atur soal Pinjaman hingga Asuransi
"Saat ini, kami melihat adanya permintaan yang meningkat untuk penilaian kebakaran hutan di tingkat lokasi yang tidak lagi hanya berdasarkan rata-rata historis. Perusahaan-perusahaan mulai menyadari bahwa risiko harus dikelola," tambahnya.
Laporan ini tak hanya menyajikan pandangan ke depan tentang risiko bencana alam untuk sisa tahun 2025 dan awal tahun 2026.
Laporan juga memberikan saran konkret tentang cara memanfaatkan prakiraan cuaca musiman, dan mengidentifikasi wilayah geografis yang mungkin akan menghadapi risiko bencana yang meningkat selama tiga hingga enam bulan ke depan.
Misalnya saja perusahaan dapat mengatasi ancaman bencana alam melalui strategi mitigasi dan adaptasi risiko yang disesuaikan, serta solusi asuransi seperti produk parametrik.
Selain itu dengan menggabungkan data spesifik, keahlian lokal, dan cara-cara inovatif untuk mengalihkan risiko, juga dapat membantu bisnis membangun ketahanan terhadap meningkatnya ancaman kebakaran hutan di Asia.
Baca juga: Bright Side Tarif 19 Persen AS, Peluang bagi Produk Hijau dan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya