Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabul, Afghanistan: Kota Pertama di Dunia yang Mungkin Bakal Kehabisan Air

Kompas.com, 2 Agustus 2025, 19:05 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Editor

KOMPAS.com - Kabul, ibu kota Afghanistan, menghadapi krisis air yang mengancam keberlangsungannya sebagai kota modern.

Laporan terbaru dari Mercy Corps memperingatkan bahwa kota ini bisa menjadi ibu kota pertama di dunia yang benar-benar kehabisan air bersih, akibat kombinasi perubahan iklim, ledakan populasi, tata kelola air yang buruk, dan infrastruktur yang rapuh.

Dengan sumur yang kian mengering dan kebutuhan air yang terus melampaui kemampuan alam untuk mengisi ulang, Kabul berada di ambang bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada bulan Juni, seorang warga Kabul mengatakan kepada The Guardian bahwa sudah tidak ada lagi air sumur dengan kualitas baik. Pekan lalu, warga lain mengatakan kepada CNN bahwa mereka tidak tahu bagaimana keluarganya bisa bertahan hidup jika situasi ini terus memburuk.

Masalah air di Kabul bukanlah hal baru—krisis ini telah memburuk secara perlahan selama beberapa dekade. Laporan tersebut juga menyoroti bagaimana krisis ini semakin parah sejak menurunnya bantuan kemanusiaan internasional pasca pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada Agustus 2021, menyusul penarikan pasukan AS dan sekutunya dari negara tersebut.

“Tanpa perubahan besar dalam pengelolaan air di Kabul, kota ini akan menghadapi bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam dekade ini—dan mungkin jauh lebih cepat dari yang diperkirakan,” tulis Mercy Corps dalam kesimpulan laporannya.

Laporan ini merujuk pada temuan sebelumnya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang memperkirakan bahwa air tanah di Kabul bisa habis pada tahun 2030. Sekitar setengah dari sumur bor di Provinsi Kabul kini sudah mengering. Saat ini, setiap tahun pengambilan air melebihi tingkat pengisian ulang alami sebesar 1,5 miliar kaki kubik (sekitar 44 juta meter kubik).

Mohammed Mahmoud, pakar keamanan air yang tidak terlibat dalam penyusunan laporan tersebut, mengatakan kepada Live Science bahwa Kabul jelas berada di tengah krisis air yang semakin memburuk.

“Fakta bahwa pengambilan air kini melebihi pengisian ulang alami hingga puluhan juta meter kubik setiap tahun, dan bahwa hingga separuh sumur air tanah di kota ini telah mengering, menunjukkan bahwa sistemnya sedang runtuh,” kata Mahmoud dalam surel.

Mahmoud adalah CEO dari organisasi Climate and Water Initiative, sekaligus kepala kebijakan iklim dan air untuk kawasan Timur Tengah di UNU Institute for Water, Environment and Health.

Ia menyebut temuan dalam laporan itu sebagai sesuatu yang “sangat mengkhawatirkan”, terutama melihat penurunan drastis muka air tanah dan semakin banyaknya warga yang harus mengalokasikan sebagian besar penghasilan mereka hanya untuk mendapatkan air.

Menurut Mercy Corps, permukaan akuifer di Kabul telah turun sekitar 30 meter dalam satu dekade terakhir, dan beberapa rumah tangga menghabiskan hingga 30 persen dari pendapatan mereka hanya untuk membeli air bersih.

Baca juga: Studi: Harga Pangan Dunia Naik akibat Cuaca Ekstrem Dampak Perubahan Iklim

“Ini bukan sekadar isu lingkungan. Ini adalah darurat kesehatan publik, krisis mata pencaharian, dan potensi pemicu gelombang pengungsian manusia dalam skala besar,” tambah Mahmoud.

Masalah Global

Kekurangan air bukan hanya persoalan Kabul—ini adalah masalah global yang memengaruhi banyak wilayah di berbagai belahan dunia. Selama beberapa dekade terakhir, sumber daya air terus menipis, diperburuk oleh faktor lingkungan seperti perubahan iklim yang meningkatkan frekuensi dan intensitas kekeringan, serta faktor manusia seperti pertumbuhan penduduk yang mendorong lonjakan permintaan air.

Sebuah studi tahun 2016 yang dipublikasikan di jurnal Scientific Reports menunjukkan bahwa jumlah orang yang mengalami kelangkaan air meningkat drastis dari 240 juta pada awal 1900-an menjadi 3,8 miliar pada awal 2000-an—dari 14 persen menjadi 58 persen dari total populasi dunia. Wilayah yang paling berisiko mengalami kekurangan air termasuk Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan.

“Apa yang terjadi di Kabul mencerminkan tren yang lebih luas di berbagai wilayah dunia yang kekurangan air, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara,” ujar Mahmoud. “Penggunaan air tanah secara berlebihan sangat umum terjadi di banyak daerah, menyebabkan tingkat pengisian ulang tidak mampu mengimbangi tingkat pengambilan.

Perubahan iklim juga memperburuk kondisi dengan mengubah pola curah hujan dan mengurangi produksi air tawar serta pengisian ulang akuifer, sembari meningkatkan frekuensi dan keparahan kekeringan.”

Meski Kabul terancam menjadi ibu kota modern pertama yang kehabisan air, ini bukan pertama kalinya sebuah kota besar menghadapi krisis serupa. Dan, melihat tren saat ini, tampaknya ini juga bukan yang terakhir.

Pada 2018, Cape Town—ibu kota legislatif Afrika Selatan—hampir kehabisan air akibat kekeringan parah, dan baru berhasil menghindari penutupan keran air secara massal berkat pembatasan ketat serta kampanye penghematan air.

Situasi yang lebih buruk terjadi di kota Chennai, India, pada 2019, saat keempat waduk utamanya benar-benar mengering, membuat pasokan air sangat terbatas dan menjerumuskan kota ke dalam krisis.

Mahmoud mencatat bahwa kelangkaan air memiliki dampak sosial-ekonomi yang serius—mempengaruhi ketahanan pangan dan pertanian, meningkatkan biaya hidup, dan dalam kasus ekstrem, mendorong migrasi massal serta pengungsian penduduk.

“Kita memerlukan investasi yang lebih kuat dalam pengelolaan air berkelanjutan, infrastruktur air yang andal, serta tata kelola yang lebih baik untuk mulai mengatasi persoalan kekurangan air ini,” pungkas Mahmoud. (Ricky Jenihansen/National Geographic Indonesia).

Baca juga: Pakar UGM Sebut Perubahan Iklim Ancam Pola Hujan dan Pertanian Indonesia

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
LSM/Figur
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Pemerintah
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
LSM/Figur
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Swasta
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Pemerintah
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Pemerintah
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Pemerintah
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
BUMN
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Swasta
KLH Janji Tindak Tegas Perusahaan yang Picu Banjir di Sumatera Utara
KLH Janji Tindak Tegas Perusahaan yang Picu Banjir di Sumatera Utara
Pemerintah
27 Harimau Sumatera Terdeteksi di Leuser, Harapan Baru untuk Konservasi
27 Harimau Sumatera Terdeteksi di Leuser, Harapan Baru untuk Konservasi
LSM/Figur
Proyek Bioetanol Kurang Libatkan Petani, Intensifikasi Lahan Perkebunan Belum Optimal
Proyek Bioetanol Kurang Libatkan Petani, Intensifikasi Lahan Perkebunan Belum Optimal
Swasta
Perempuan dan Anak Jadi Korban Ganda dalam Bencana Sumatera, Mengapa?
Perempuan dan Anak Jadi Korban Ganda dalam Bencana Sumatera, Mengapa?
LSM/Figur
4 Gajah Terlatih Bantu Angkut Material akibat Banjir di Aceh
4 Gajah Terlatih Bantu Angkut Material akibat Banjir di Aceh
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau