KOMPAS.com - Kabul, ibu kota Afghanistan, menghadapi krisis air yang mengancam keberlangsungannya sebagai kota modern.
Laporan terbaru dari Mercy Corps memperingatkan bahwa kota ini bisa menjadi ibu kota pertama di dunia yang benar-benar kehabisan air bersih, akibat kombinasi perubahan iklim, ledakan populasi, tata kelola air yang buruk, dan infrastruktur yang rapuh.
Dengan sumur yang kian mengering dan kebutuhan air yang terus melampaui kemampuan alam untuk mengisi ulang, Kabul berada di ambang bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pada bulan Juni, seorang warga Kabul mengatakan kepada The Guardian bahwa sudah tidak ada lagi air sumur dengan kualitas baik. Pekan lalu, warga lain mengatakan kepada CNN bahwa mereka tidak tahu bagaimana keluarganya bisa bertahan hidup jika situasi ini terus memburuk.
Masalah air di Kabul bukanlah hal baru—krisis ini telah memburuk secara perlahan selama beberapa dekade. Laporan tersebut juga menyoroti bagaimana krisis ini semakin parah sejak menurunnya bantuan kemanusiaan internasional pasca pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada Agustus 2021, menyusul penarikan pasukan AS dan sekutunya dari negara tersebut.
“Tanpa perubahan besar dalam pengelolaan air di Kabul, kota ini akan menghadapi bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam dekade ini—dan mungkin jauh lebih cepat dari yang diperkirakan,” tulis Mercy Corps dalam kesimpulan laporannya.
Laporan ini merujuk pada temuan sebelumnya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang memperkirakan bahwa air tanah di Kabul bisa habis pada tahun 2030. Sekitar setengah dari sumur bor di Provinsi Kabul kini sudah mengering. Saat ini, setiap tahun pengambilan air melebihi tingkat pengisian ulang alami sebesar 1,5 miliar kaki kubik (sekitar 44 juta meter kubik).
Mohammed Mahmoud, pakar keamanan air yang tidak terlibat dalam penyusunan laporan tersebut, mengatakan kepada Live Science bahwa Kabul jelas berada di tengah krisis air yang semakin memburuk.
“Fakta bahwa pengambilan air kini melebihi pengisian ulang alami hingga puluhan juta meter kubik setiap tahun, dan bahwa hingga separuh sumur air tanah di kota ini telah mengering, menunjukkan bahwa sistemnya sedang runtuh,” kata Mahmoud dalam surel.
Mahmoud adalah CEO dari organisasi Climate and Water Initiative, sekaligus kepala kebijakan iklim dan air untuk kawasan Timur Tengah di UNU Institute for Water, Environment and Health.
Ia menyebut temuan dalam laporan itu sebagai sesuatu yang “sangat mengkhawatirkan”, terutama melihat penurunan drastis muka air tanah dan semakin banyaknya warga yang harus mengalokasikan sebagian besar penghasilan mereka hanya untuk mendapatkan air.
Menurut Mercy Corps, permukaan akuifer di Kabul telah turun sekitar 30 meter dalam satu dekade terakhir, dan beberapa rumah tangga menghabiskan hingga 30 persen dari pendapatan mereka hanya untuk membeli air bersih.
Baca juga: Studi: Harga Pangan Dunia Naik akibat Cuaca Ekstrem Dampak Perubahan Iklim
“Ini bukan sekadar isu lingkungan. Ini adalah darurat kesehatan publik, krisis mata pencaharian, dan potensi pemicu gelombang pengungsian manusia dalam skala besar,” tambah Mahmoud.
Masalah Global
Kekurangan air bukan hanya persoalan Kabul—ini adalah masalah global yang memengaruhi banyak wilayah di berbagai belahan dunia. Selama beberapa dekade terakhir, sumber daya air terus menipis, diperburuk oleh faktor lingkungan seperti perubahan iklim yang meningkatkan frekuensi dan intensitas kekeringan, serta faktor manusia seperti pertumbuhan penduduk yang mendorong lonjakan permintaan air.
Sebuah studi tahun 2016 yang dipublikasikan di jurnal Scientific Reports menunjukkan bahwa jumlah orang yang mengalami kelangkaan air meningkat drastis dari 240 juta pada awal 1900-an menjadi 3,8 miliar pada awal 2000-an—dari 14 persen menjadi 58 persen dari total populasi dunia. Wilayah yang paling berisiko mengalami kekurangan air termasuk Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
“Apa yang terjadi di Kabul mencerminkan tren yang lebih luas di berbagai wilayah dunia yang kekurangan air, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara,” ujar Mahmoud. “Penggunaan air tanah secara berlebihan sangat umum terjadi di banyak daerah, menyebabkan tingkat pengisian ulang tidak mampu mengimbangi tingkat pengambilan.
Perubahan iklim juga memperburuk kondisi dengan mengubah pola curah hujan dan mengurangi produksi air tawar serta pengisian ulang akuifer, sembari meningkatkan frekuensi dan keparahan kekeringan.”
Meski Kabul terancam menjadi ibu kota modern pertama yang kehabisan air, ini bukan pertama kalinya sebuah kota besar menghadapi krisis serupa. Dan, melihat tren saat ini, tampaknya ini juga bukan yang terakhir.
Pada 2018, Cape Town—ibu kota legislatif Afrika Selatan—hampir kehabisan air akibat kekeringan parah, dan baru berhasil menghindari penutupan keran air secara massal berkat pembatasan ketat serta kampanye penghematan air.
Situasi yang lebih buruk terjadi di kota Chennai, India, pada 2019, saat keempat waduk utamanya benar-benar mengering, membuat pasokan air sangat terbatas dan menjerumuskan kota ke dalam krisis.
Mahmoud mencatat bahwa kelangkaan air memiliki dampak sosial-ekonomi yang serius—mempengaruhi ketahanan pangan dan pertanian, meningkatkan biaya hidup, dan dalam kasus ekstrem, mendorong migrasi massal serta pengungsian penduduk.
“Kita memerlukan investasi yang lebih kuat dalam pengelolaan air berkelanjutan, infrastruktur air yang andal, serta tata kelola yang lebih baik untuk mulai mengatasi persoalan kekurangan air ini,” pungkas Mahmoud. (Ricky Jenihansen/National Geographic Indonesia).
Baca juga: Pakar UGM Sebut Perubahan Iklim Ancam Pola Hujan dan Pertanian Indonesia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya