Dalam konteks ini, waste-to-power bisa menjadi salah satu bagian dari solusi, asalkan dikelola dengan prinsip kehati-hatian. Kuncinya ada pada dua hal pertama, memastikan teknologi yang digunakan adalah yang paling aman dan terbukti secara internasional, bukan sekadar teknologi murahan yang dipaksakan.
Misalnya, beberapa negara sudah mengembangkan teknologi plasma gasification yang membakar sampah pada suhu ultra-tinggi sehingga polusi lebih minim dibanding insinerasi konvensional. Kedua, memastikan bahwa proyek waste-to-power bukan hanya proyek top-down yang dikendalikan elit politik dan investor, tetapi benar-benar melibatkan masyarakat dalam pengawasan, pemanfaatan, dan bahkan kepemilikan. Inilah yang disebut demokratisasi energi: energi yang bukan hanya diproduksi untuk rakyat, tetapi juga dikelola bersama rakyat.
Model demokratisasi energi ini bisa diwujudkan dengan menjadikan sebagian pembangkit waste-to-power sebagai koperasi energi lokal, di mana warga mendapat saham atau bagian keuntungan dari listrik yang dihasilkan. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi hanya menjadi penonton, tetapi juga pemilik dan pengawas.
Hal ini bukan utopia. Di Jerman, misalnya, ribuan proyek energi terbarukan dikelola koperasi warga, yang tidak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal. Mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal serupa?
Pada akhirnya, diskursus tentang waste-to-power di Indonesia harus keluar dari jebakan dua kutub ekstrem: terlalu optimis atau terlalu skeptis. Kita tidak boleh menelan mentah-mentah klaim bahwa ini adalah solusi hijau, tapi kita juga tidak boleh menolak setiap inovasi energi hanya karena ada risiko. Jalan tengahnya adalah bersikap kritis, menuntut transparansi, memperjuangkan partisipasi publik, dan memastikan teknologi yang dipilih benar-benar ramah lingkungan.
Tanpa itu semua, waste-to-power hanya akan menambah deretan proyek gagal yang merugikan rakyat dan lingkungan. Transisi energi adalah proyek peradaban, bukan sekadar proyek teknis. Dan dalam proyek peradaban, tidak ada ruang untuk tergesa-gesa, apalagi untuk menutup-nutupi risiko. Jika kita ingin waste-to-power menjadi peluang hijau yang sejati, bukan bom lingkungan tersembunyi, maka demokratisasi energi harus menjadi batu uji utamanya.
Energi dari rakyat, untuk rakyat, dan diawasi oleh rakyat itulah satu-satunya jalan agar sampah benar-benar bisa berubah jadi berkat, bukan malapetaka.
Baca juga: Indonesia Hasilkan Sampah Setara 16.5000 Lapangan Bola dalam Setahun
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya