Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rifqi Nuril Huda
Mahasiswa Magister Hukum SDA UI

Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wasekjend Dewan Energi Mahasiswa, Wakil Bendahara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

Demokratisasi Energi dari Limbah Kota

Kompas.com, 1 Oktober 2025, 08:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

KETIKA kita bicara tentang masa depan energi Indonesia, banyak orang langsung membayangkan ladang panel surya yang luas di Nusa Tenggara, turbin angin berputar di pantai selatan Jawa, atau pembangkit listrik tenaga air yang mengalir deras di Kalimantan.

Namun, dalam beberapa bulan terakhir, ada satu wacana yang semakin sering muncul di meja berbagai pemberitaan sektor energi yaitu waste-to-power, sebuah konsep yang terdengar sederhana, yaitu mengubah sampah menjadi listrik.

Bagi sebagian orang, ini adalah peluang hijau untuk mengatasi dua persoalan sekaligus krisis energi bersih dan gunungan sampah yang makin mengkhawatirkan. Tetapi, bagi sebagian lainnya, teknologi ini justru dikhawatirkan menjadi bom lingkungan tersembunyi yang membawa lebih banyak masalah daripada solusi, jika tidak dirancang dengan serius, transparan, dan partisipatif.

Pertanyaan besar pun mengemuka, apakah waste-to-power benar-benar jalan keluar menuju energi bersih, atau sekadar jebakan baru dalam perjalanan panjang transisi energi kita?

Baca juga: Kurangi Polusi, Energi Surya dan Sampah Paling Potensial untuk Jakarta

Antara Peluang dan Masalah

Dalam pemberitaan terakhir, disebutkan bahwa sovereign fund Danantara Indonesia berencana meluncurkan sedikitnya delapan proyek waste-to-power hingga akhir Oktober 2025, dengan fokus awal di Jakarta, serta di kota-kota di Jawa dan Bali. Skemanya sederhana di atas kertas: setiap 1.000 ton sampah yang dibakar atau diolah akan menghasilkan sekitar 15 megawatt listrik.

Angka ini tampak menjanjikan jika kita membandingkannya dengan kebutuhan energi perkotaan yang terus melonjak. Jakarta, misalnya, rata-rata menghasilkan lebih dari 7.500 ton sampah per hari, artinya jika semua itu bisa diolah dalam sistem waste-to-power, maka berpotensi memasok energi yang cukup besar untuk ribuan rumah tangga.

Namun, angka-angka yang menggiurkan ini tidak boleh menutup mata kita terhadap fakta teknis dan lingkungan yang jauh lebih kompleks. Proses waste-to-power yang paling umum digunakan di dunia adalah insinerasi, atau pembakaran sampah pada suhu sangat tinggi. Dari sisi efisiensi energi, insinerasi memang mampu mengurangi volume sampah hingga 90 persen, tetapi dari sisi lingkungan, pembakaran menghasilkan emisi dioksin, furan, dan partikel mikro yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Laporan Bank Dunia tahun 2020 mencatat, sejumlah proyek insinerasi di negara berkembang berakhir gagal karena pencemaran udara, tingginya biaya operasional, dan lemahnya pemantauan emisi. Dengan kata lain, waste-to-power bisa menjadi pedang bermata dua.

Baca juga: Transisi Energi Inkonsisten, Komitmen Iklim Indonesia Dipertanyakan

Tuntutan Transparansi dan Partisipasi

Di titik inilah kita harus menuntut lebih dari sekadar janji investasi miliaran rupiah. Proyek waste-to-power tidak boleh berhenti pada seremoni pemotongan pita atau angka-angka yang diklaim berhasil menambah kapasitas listrik nasional. Yang paling krusial adalah transparansi dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Sayangnya, pengalaman panjang di Indonesia menunjukkan bahwa AMDAL seringkali diperlakukan sebagai formalitas belaka. Dokumen yang seharusnya terbuka untuk publik sering terkunci di laci birokrasi, dan proses konsultasi publik yang diwajibkan undang-undang justru berlangsung terbatas dan hanya melibatkan segelintir pihak.

Padahal, partisipasi publik dalam proyek sebesar ini sangat penting. Bayangkan jika sebuah pembangkit waste-to-power dibangun di dekat permukiman padat tanpa ada ruang dialog dengan masyarakat sekitar. Apa yang terjadi jika warga mulai merasakan bau tidak sedap, debu beterbangan, atau angka penyakit pernapasan meningkat?

Ketika protes muncul, proyek sudah terlanjur berdiri, kontrak sudah diteken, dan miliaran rupiah sudah digelontorkan. Akhirnya, masyarakat hanya menjadi korban dari sebuah proyek yang semula diklaim sebagai solusi hijau. Ini yang disebut bom lingkungan tersembunyi: masalah yang tidak terlihat di awal, tetapi meledak ketika semua sudah terlambat.

Oleh karena itu, kita harus mendorong pemerintah dan perusahaan untuk menjadikan dokumen AMDAL terbuka, mudah diakses, dan dipahami masyarakat awam. Tidak cukup hanya dengan menempelkan pengumuman di kantor kelurahan atau website yang sulit dijangkau. Harus ada sosialisasi aktif, diskusi tatap muka, serta mekanisme pengaduan yang benar-benar direspons cepat. Tanpa itu semua, partisipasi publik hanya akan jadi jargon, sementara masyarakat tetap menanggung risiko.

Demokratisasi Energi

Meski banyak kritik, bukan berarti kita harus menolak mentah-mentah gagasan waste-to-power. Indonesia memang sedang berada di persimpangan jalan besar: kebutuhan energi terus meningkat, tekanan global untuk mengurangi emisi makin kuat, sementara sampah perkotaan sudah mencapai tingkat darurat.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa pada 2022 Indonesia menghasilkan lebih dari 68 juta ton sampah, dengan 40 persennya berasal dari perkotaan besar. Jika dibiarkan menumpuk di TPA tanpa solusi inovatif, maka masalah lingkungan akan semakin memburuk.

Dalam konteks ini, waste-to-power bisa menjadi salah satu bagian dari solusi, asalkan dikelola dengan prinsip kehati-hatian. Kuncinya ada pada dua hal pertama, memastikan teknologi yang digunakan adalah yang paling aman dan terbukti secara internasional, bukan sekadar teknologi murahan yang dipaksakan.

Misalnya, beberapa negara sudah mengembangkan teknologi plasma gasification yang membakar sampah pada suhu ultra-tinggi sehingga polusi lebih minim dibanding insinerasi konvensional. Kedua, memastikan bahwa proyek waste-to-power bukan hanya proyek top-down yang dikendalikan elit politik dan investor, tetapi benar-benar melibatkan masyarakat dalam pengawasan, pemanfaatan, dan bahkan kepemilikan. Inilah yang disebut demokratisasi energi: energi yang bukan hanya diproduksi untuk rakyat, tetapi juga dikelola bersama rakyat.

Model demokratisasi energi ini bisa diwujudkan dengan menjadikan sebagian pembangkit waste-to-power sebagai koperasi energi lokal, di mana warga mendapat saham atau bagian keuntungan dari listrik yang dihasilkan. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi hanya menjadi penonton, tetapi juga pemilik dan pengawas.

Hal ini bukan utopia. Di Jerman, misalnya, ribuan proyek energi terbarukan dikelola koperasi warga, yang tidak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal. Mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal serupa?

Pada akhirnya, diskursus tentang waste-to-power di Indonesia harus keluar dari jebakan dua kutub ekstrem: terlalu optimis atau terlalu skeptis. Kita tidak boleh menelan mentah-mentah klaim bahwa ini adalah solusi hijau, tapi kita juga tidak boleh menolak setiap inovasi energi hanya karena ada risiko. Jalan tengahnya adalah bersikap kritis, menuntut transparansi, memperjuangkan partisipasi publik, dan memastikan teknologi yang dipilih benar-benar ramah lingkungan.

Tanpa itu semua, waste-to-power hanya akan menambah deretan proyek gagal yang merugikan rakyat dan lingkungan. Transisi energi adalah proyek peradaban, bukan sekadar proyek teknis. Dan dalam proyek peradaban, tidak ada ruang untuk tergesa-gesa, apalagi untuk menutup-nutupi risiko. Jika kita ingin waste-to-power menjadi peluang hijau yang sejati, bukan bom lingkungan tersembunyi, maka demokratisasi energi harus menjadi batu uji utamanya.

Energi dari rakyat, untuk rakyat, dan diawasi oleh rakyat itulah satu-satunya jalan agar sampah benar-benar bisa berubah jadi berkat, bukan malapetaka. 

Baca juga: Indonesia Hasilkan Sampah Setara 16.5000 Lapangan Bola dalam Setahun

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
Pemerintah
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
LSM/Figur
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Pemerintah
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar 'Langkah Membumi Ecoground 2025'
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar "Langkah Membumi Ecoground 2025"
Swasta
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
BUMN
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
Pemerintah
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
LSM/Figur
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Pemerintah
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
Pemerintah
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
Pemerintah
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
LSM/Figur
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
Pemerintah
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Pemerintah
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Swasta
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau