Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari Elka Pangestu: 80 Persen Duit Transisi Energi Harus dari Luar APBN

Kompas.com, 6 Oktober 2025, 19:02 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Biaya transisi dari energi bahan bakar fosil, menjadi energi baru terbarukan di Indonesia sangat mahal.

Chairperson Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Mari Elka Pangestu menganggap, pemerintah Indonesia memang tidak akan sanggup membiayai transisi energi tersebut.

"Pemerintah itu enggak bisa membiayai semuanya ya. Mungkin berapa, 20 persen barangkali estimasinya kira-kira yang bisa dibiayai oleh pemerintah. Nah, 80 persen itu harus datang dari non pemerintah, non APBN maksud saya," ujar Mari dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025).

Sekitar 80 persen pendanaan transisi energi akan berasal dari sektor swasta, termasuk filantropi, yang disebut blended finance (pembiayaan campuran). Untuk mengisi gap financing (kekurangan pendanaan), kata dia, pihak swasta harus berkontribusi melalui investasi atau menanamkan modal. Dalam upaya menarik investasi untuk membiayai transisi energi, Indonesia perlu kerangka regulasi yang jelas.

Selain itu, investor membutuhkan kepastian mengenai tingkat pengembalian investasi (rate of return) dalam jangka panjang, mengingat risiko tinggi dalam proyek energi baru terbarukan.

"Kita menghitung rate of return-nya kan over a long period of time dan kita harus ada kepastian rate of return-nya seperti apa dan kalau ada risiko, bagaimana itu ditangani," tutur Mari.

Konsistensi kebijakan pemerintah sangat penting untuk mengurangi risiko investasi. Perubahan kebijakan secara mendadak dapat merugikan investor dan mengurangi minat mereka. Misalnya, perubahan harga jual energi yang telah disepakati sebelumnya.

Baca juga: Praktik Baik Kota Surabaya, Mengubah Sampah Menjadi Energi dan Inovasi Global Kota Berkelanjutan

Menurut Mari, menghitung rate of return erat kaitannya dengan kebijakan di tingkat nasional, seperti subsidi. Caranya merujuk istilah relative price of carbon dalam ilmu ekonomi — jika ingin mengurangi karbon, maka perlu menetapkan harga mahal bagi industri yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) tinggi.

Ia menilai, kebijakan subsidi energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM), harus tepat sasaran dengan memprioritaskan masyarakat yang memang membutuhkan.

"Kita tetap peduli dengan (masyarakat di daerah) 3T, aksesibilitas dan keterjangkauan untuk orang yang memang memerlukan subsidi. Semua studi menunjukkan subsidi ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang di lapisan bawah, justru yang di atas- atas itu juga menikmati, sekarang kita harus ubah, kita tetap mau mensubsidi yang memerlukan," ucapnya.

Di sisi lain, Indonesia juga perlu menyusun regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi aturan (compliance market). Contohnya, target pengurangan emisi GRK yang jelas di Eropa telah mendorong perusahaan-perusahaan beralih ke energi baru terbarukan.

"Mengapa Eropa maupun China bisa cepat beralih dari fosil ke green (energi baru terbarukan), itu karena ada peraturannya. Jadi, Indonesia memang harus keluar dari coal (batu bara), ada peraturannya. Apalagi, sekarang kita ini sudah menghadapi CBAM (mekanisme penyesuaian perbatasan karbon). Jadi, kalau kita tidak beralih ke green energy (energi baru terbarukan) dan kita juga akan dipajaki itu kalau ekspor ke Eropa. Jadi, itu juga akan mendorong perubahan ya," ujar Mari.

Kata dia, pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga keuangan multilateral agar bisa mendapatkan dana yang suku bunganya rendah. Itu bisa mengurangi risiko dan biaya investasi, sehingga membantu menarik lebih banyak investasi dari sektor swasta. Kombinasi dari berbagai strategi tersebut penting untuk menciptakan struktur pembiayaan yang memungkinkan proyek energi baru terbarukan dapat berjalan.

Baca juga: Transisi Energi Barang Siapa Sih? IESR Minta Presiden Tunjuk Komandonya

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau