Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BKPM: Usia CCS RI Capai 200 Tahun, Berpotensi Simpan hingga 577 Ton CO2

Kompas.com, 7 Oktober 2025, 16:33 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan, mengungkapkan bahwa usia penyimpanan carbon capture and storage (CCS) di Indonesia mencapai 200 tahun lamanya. Teknologi ini berpotensi menyimpan 577 gigaton CO2 ekuivalen, menjadikanya salah satu yang terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, China, dan Rusia.

"Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon selama 200 tahun, yang dapat menampung tidak hanya emisi kita sendiri tetapi juga dari negara-negara sekitar menegaskan posisi kita sebagai pusat CCS Asia," kata Nurul dalam International & Indonesia Carbon Capture and Storage (IICCS) Forum di Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

Pemerintah menargetkan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Dia menyatakan, CCS merupakan bagian dari prioritas nasional untuk mempercepat dekarbonisasi.

Baca juga: RI-Singapura Kerja Sama Bangun Fasilitas CCS hingga Industri Hijau

Regulasinya termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang CCS. Aturan ini memungkinkan penerapan CCS dalam dua bentuk yakni di wilayah kerja migas yang sudah ada, dan area baru untuk penyimpanan karbon.

"Untuk memastikan kebutuhan energi dan lingkungan kita terpenuhi, regulasi mengamanatkan bahwa setidaknya 70 persen kapasitas penyimpanan karbon harus dialokasikan untuk sumber domestik, dan 30 persennya dapat digunakan untuk sumber karbon luar negeri asalkan terdapat perjanjian bilateral dan investasi di Indonesia," jelas dia.

Kebijakan itu juga membuka peluang ekonomi signifikan, memungkinkan pengelola CCS mendapatkan keuntungan melalui perdagangan karbon ataupun jasa penyimpanan karbon. Sehingga bakal menarik investasi, menciptakan lapangan kerja baru, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

"Ke depan, pemerintah akan memastikan seluruh operasi CCS mengikuti standar keselamatan dan lingkungan tertinggi, mulai dari penangkapan hingga penyimpanan jangka panjang," tutur Nurul.

Regulasi lainnya, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mewajibkan seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil menerapkan CCUS pada tahun 2060. Tak sekadar aturan di atas kertas, implementasi PP tersebut menghasikan investasi dari global.

"Tahun lalu, kami menerima komitmen investasi senilai 7 miliar dollar AS dari BP untuk Proyek Tangguh Ubadari Project, proyek CCUS berskala besar pertama di Indonesia sebuah langkah besar bagi sektor energi nasional," sebut dia.

Pada awal tahun 2025, pemerintah menandatangani perjanjian senilai 10 miliar dollar AS dengan ExxonMobil untuk proyek serupa. Dalam kesempatan itu, Nurul turut menyinggung soal potensi energi Indonesia yang mencapai 3.700 gigawatt terdiri dari energi surya, angin, air, bioenergi, hingga panas bumi. Namun, kapasitas terpasang kita saat ini baru mencapai 15,2 gigawatt, atau kurang dari 1 persen.

Baca juga: Norwegia Cetak Sejarah, Jadi yang Pertama Kubur Emisi Karbon ke Bawah Laut

"Dengan mengembangkan teknologi ini (CCS), kita membangun perlindungan bagi industri, melindungi ekspor dari kebijakan penyesuaian karbon (carbon border adjustment yang akan diterapkan oleh Uni Eropa, serta memastikan produk tetap kompetitif di pasar global," ucap Nurul.

Sementara itu, Executive Director ICCSC, Belladonna Troxylon Maulianda, menyebutkan setidaknya ada 19 proyek terkait CCS yang kini tengah berlangsung di Indonesia. Blok migas yang menjadi calon proyek CCS antara lain dikerjakan ExxonMobil di Cekungan Asri dan Lapangan Gundih, Cepu, Jawa Tengah, Bp Indonesia di Blok Tangguh Ubadari di Papua Barat, INPEX di Blok Masela, Maluku, Repsol di Blok Sakakemang, Sumatera Selatan.

"Kalau dari domestik, kita punya Pertamina, Pertamina kerja sama dengan Exxon, Pertamina kerja sama dengan Chevron, ada juga Pupuk Indonesia," ucap Belladonna.

"Pupuk Indonesia juga beraspirasi melakukan CCS untuk produksi blue ammonia, untuk penyusunan power plant, PLN juga sudah memasukannya di RUPTL, 1 gigawatt tahun 2030, yang menegaskan CCS dengan PLTU," imbuh dia.

Baca juga: IESR : Metana Sektor Energi Belum Terkontrol, Indonesia Harus Bergerak Lebih Cepat

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau