JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong memutuskan gugatan PT Kalimantan Lestari Mandiri (PT KLM) terhadap guru besar IPB University, yakni Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis tidak dapat dilanjutkan.
Selain itu, putusan sela dalam perkara Nomor 212/Pdt.G/2025/PN Cbi tersebut menyatakan gugatan perusahaan sebagai tindakan strategic lawsuit against public participation (SLAPP). Koalisi Save Akademisi dan Ahli menilai langkah majelis hakim tepat, progresif, dan selaras dengan semangat perlindungan pada pembela lingkungan hidup.
“SLAPP harus dihentikan sedini mungkin untuk mencegah kriminalisasi dan tekanan terhadap individu yang berpartisipasi dalam perlindungan lingkungan hidup," kata Peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Marsya M Handayani, dalam keterangannya, Kamis (9/10/2025).
Baca juga: Dalang Sawit Ilegal di Hutan Lindung Konawe Selatan Ditetapkan Kemenhut
Menurut dia, putusan hakim menunjukkan pemahaman yang kuat atas prinsip anti SLAPP sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
"Mekanisme melalui putusan sela menjadi langkah yang efektif dan berkeadilan, karena memungkinkan penghentian perkara sejak awal tanpa harus menunggu proses persidangan yang panjang, melelahkan, dan berbiaya besar bagi para pembela lingkungan,” imbuh dia.
Sebagai informasi, gugatan diajukan oleh PT KLM kepada Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis yang memberikan keterangan ahli dalam perkara kebakaran lahan gambut di areal perkebunan perusahaan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah pada 2018.
Keterangan keduanya digunakan sebagai dasar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, menyatakan PT KLM harus membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 89,3 miliar dan biaya pemulihan sebesar Rp 210,5 miliar.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menegaskan keterangan yang disampaikan Bambang maupun Basuki dalam persidangan merupakan bentuk perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagaimana dilindungi Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Majelis juga merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025 yang memperluas perlindungan Pasal 66 UU PPLH. Berbunyi: setiap orang, termasuk korban, pelapor, saksi, ahli, dan aktivis lingkungan yang berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Baca juga: Guru di Tengah Hutan: Perjuangan Rabiyati Mengajar, Mengasuh Anak, dan Melawan Sepi
Dengan putusannya, pengadilan memberikan sinyal bahwa upaya pembungkaman terhadap partisipasi publik terkait isu lingkungan tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, menyatakan keputusan hakim adalah pengingat bagi perusahaan yang merusak hutan untuk menaati hukum.
"Tidak ada ruang lagi untuk mencoba memenjarakan pejuang lingkungan demi keuntungan segelintir orang,” ucap Sekar.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Edy K Wahid, berpandangan putusan sebagai langkah penting dalam meneguhkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Melalui mekanisme Anti SLAPP, pengadilan tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga melindungi kebebasan berekspresi serta kebebasan akademik.
“Ke depan, negara dan aparat penegak hukum harus memastikan tidak ada lagi penggunaan instrumen hukum untuk membungkam hak-hak masyarakat dalam memperjuangkan keadilan lingkungan,” kata Edy.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya