LUWU TIMUR, KOMPAS.com – Danau Matano, yang terletak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, bukan sekadar perairan biasa. Danau ini merupakan keajaiban geologi sekaligus ekologi Indonesia.
Sebagai salah satu dari empat danau di Kompleks Danau Malili, Matano merupakan danau terdalam di Indonesia. Bahkan, danau ini menempati urutan kedelapan terdalam di dunia, dengan kedalaman mencapai 590 meter.
Lebih dari itu, Danau Matano dikenal sebagai danau purba karena telah terbentuk selama jutaan tahun. Kondisi tersebut menjadikan Matano rumah bagi berbagai spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain, seperti beberapa jenis ikan purba, udang, dan siput yang berevolusi secara alami.
Baca juga: Vale Indonesia Ubah Limbah Nikel Jadi Berkah lewat Inisiatif Sirkular
Bagi masyarakat sekitar, Danau Matano juga memiliki peran sangat vital. Airnya menjadi sumber air bersih, sumber protein, juga urat nadi perekonomian lokal. Oleh karena itu, menjaga kemurnian danau ini merupakan komitmen yang harus dipegang teguh.
Namun, menjaga kejernihan danau purba tersebut pun bukan hal yang sederhana. Di sisi timur Matano, PT Vale Indonesia Tbk telah menambang nikel selama lebih dari 50 tahun.
Setiap kali hujan turun, air mengalir melewati bukaan tambang, membawa partikel tanah dan logam terlarut. Air ini dikenal sebagai air limpasan tambang. Tanpa pengelolaan yang tepat, air limpasan dapat menurunkan kualitas air danau yang selama ini menjadi sumber air, mata pencaharian, dan kebanggaan warga Sorowako.
Fasilitas Lamella Gravity Settler (LGS) PT Vale di Sorowako mengolah air limpasan tambang agar memenuhi baku mutu sebelum dilepas ke alam.Sejak awal beroperasi, PT Vale Indonesia Tbk menyadari bahwa menjaga kualitas air Danau Matano berarti menjaga keberlanjutan kegiatan tambang itu sendiri.
“Air yang keluar dari area tambang tidak boleh membawa dampak negatif ke danau. Itu komitmen kami,” ujar Senior Manager Mine Infrastructure Maintenance & Development PT Vale Indonesia Tbk Hasliana Alimuddin.
Baca juga: Menitip Asa Masa Depan Tambang Berkelanjutan Vale Indonesia di Danau Matano
Lebih lanjut, Hasliana menerangkan bahwa di wilayah tambang Sorowako, air hujan yang jatuh di area seluas sekitar 9.000 hingga 10.000 hektare dikelola melalui sistem pengendalian yang terstruktur.
“PT Vale memiliki lebih dari 120 kolam sedimentasi dan 11 titik kepatuhan (compliance point) untuk memastikan kualitas air limpasan selalu memenuhi baku mutu lingkungan sebelum dilepaskan ke alam,” ucapnya.
Masalah utama dari air limpasan tambang adalah total suspended solid (TSS), yaitu partikel halus penyebab kekeruhan air, serta keberadaan Chromium heksavalen—logam berat berbahaya yang tidak terlihat tetapi dapat merusak ekosistem perairan jika kadarnya berlebih.
Ketika curah hujan meningkat, volume air yang mengalir dari area tambang dapat membawa partikel dalam jumlah besar. Karena itu, sistem pengelolaan harus mampu beradaptasi terhadap lonjakan debit air yang terjadi secara tiba-tiba.
Untuk menjawab tantangan tersebut, PT Vale bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)—kini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—sejak 2011. Dari riset ini lahirlah Lamella Gravity Settler (LGS), yang menjadi salah satu sistem pengelolaan air limpasan berbasis terknologi modern di Operasional PT Vale Sorowako Tbk Site Sorowako.
“Proyek tersebut melalui beberapa tahap, mulai dari uji coba laboratorium dan pembuatan prototipe (2012), uji lapangan (2013), desain penuh (2014), konstruksi (2015), dan resmi beroperasi pada 2016,” tutur Hasliana.
Secara sederhana, LGS bekerja seperti saringan bertingkat yang mempercepat pemisahan lumpur dari air. Sistem ini dirancang vertikal dengan kedalaman hingga 9 meter sehingga mampu mengolah air dalam jumlah besar tanpa memerlukan lahan yang luas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya