JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan harga listrik ke depannya akan semakin mahal jika Indonesia tetap mempertahankan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan memperbanyak turbin gas siklus gabungan (Combined-cycle Gas Turbine/CCGT).
Berdasarkan laporan terbaru Bloomberg New Energy Finance, harga listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga listrik tenaga bayu (PLTB) di Indonesia lebih murah daripada PLTU maupun CCGT.
"Kalau kita masih tetap mempertahankan pembangunan PLTU atau memperbanyak gas (CCGT), itu artinya ke depan kita akan membayar listrik lebih mahal. Ini kesempatan yang hilang kira-kira begitu, (karena) kita (sebenarnya) bisa menurunkan harga listrik seperti cita-cita Presiden (Prabowo) itu dengan memperbanyak pembangunan energi terbarukan," ujar Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Baca juga: Proyek PLTS untuk Koperasi Merah Putih, IESR Ingatkan Risiko Mangkrak
Dari segi faktor kapasitas (capacity factor/CF), PLTS seringkali dianggap lebih rendah dibandingkan PLTU. Padahal, CF dari PLTS bisa ditingkatkan dengan memperbesar kapasitasnya maupun ditambahkan baterai penyimpanan energi selama empat jam.
"Hitung-hitungannya masih lebih murah dibandingkan membangun PLTU baru. Yang apalagi batubaranya tidak disubsidi. Jadi, kalau ada yang mengatakan PLTS plus baterai lebih mahal ya, apakah itu naif, dia tidak menghitung, memang senang saja membangun PLTU, atau karena ada kontrak batubara, kan?," tutur Fabby.
Ia mendesak pemerintah Indonesia segera merealisasikan rencana pensiun dini bagi PLTU yang tua, tidak efisien, dan beremisi tinggi.
Terdapat potensi sebesar 9 gigawatt (GW) PLTU yang dapat dipensiunkan secara bertahap hingga 2030–2035. Di antaranya, PLTU Paiton dan Suralaya yang sudah melewati usia ekonomisnya.
Menurut Fabby, PLTU menjadi sumber polusi udara dan harga listriknya bisa murah karena disubsidi, sehingga tidak perlu diperbanyak, serta semestinya diganti dengan PLTS atau PLTB.
Selain PLTU, potensi 3,5 GW pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dioperasikan PLN di daerah 3T juga dengan PLTS atau PLTB. Fabby menilai, PLTS plus baterai berpotensi 50 persen lebih murah daripada PLTD.
"Mengganti PLTD 3,5 GW dengan energi terbarukan (PLTS dan PLTB) dapat menurunkan emisi 27 juta ton CO2. (Juga) Mengurangi biaya bahan bakar, sehingga bisa menurunkan BPP (biaya pokok produksi) dan menurunkan subisidi. Sudah kami hitung, bisa lebih murah," ucapnya.
Kata dia, mengganti PLTU dan PLTD dengan PLTS atau PLTB merupakan salah satu upaya mempercepat penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Di sisi lain, percepatan penurunan emisi GRK dapat dilakukan dengan mereformasi subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong penggunaan energi yang lebih efisien dan mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.
Baca juga: IESR Dukung Target 100 Persen Listrik EBT Prabowo, Ingatkan Perlu Peta Jalan Konkret
Percepatan penurunan emisi GRK juga bisa dilakukan dengan menindaklanjuti komitmen Global Methane Pledge. Yaitu, dengan menurunkan emisi gas metana sebesar 30 persen pada 2030, sebagaimana disetujui Presiden Joko Widodo pada 2021.
"Yang selama ini masuk ke dalam emisi itu baru sektor sampah. Padahal sektor sampah ini enggak banyak emisinya, gas metananya maksudnya. Yang banyak dan selama ini tidak dihitung dengan baik dan belum dilakukan tindakan penurunan emisi metananya, itu di sektor energi. Di mana? di tambang batubara, fasilitas produksi minyak dan gas, serta transportasi pipa minyak dan gas," ujar Fabby.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya