JAKARTA, KOMPAS.com - Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, berencana memanfaatkan teknologi penangkapan emisi karbon (carbon capture and storage/CCS) sebagai upaya untuk mengatasi emisi gas rumah kaca.
Namun, pemanfaatan teknologi tersebut justru berpotensi meningkatkan emisi wilayah ini hingga 25 miliar ton pada 2050, semakin menjauh dari target iklim yang disepakati dalam Perjanjian Paris.
Dalam laporan terbaru Climate Analytics bertajuk “The global climate risks of Asia's expensive carbon capture and storage plans" terungkap, meski berhasil memasang teknologi CCS sesuai skenario kapasitas tinggi, Asia tetep akan menghadapi risiko.
Baca juga: BKPM: Usia CCS RI Capai 200 Tahun, Berpotensi Simpan hingga 577 Ton CO2
Sebab, meskipun diklaim mampu menangkap emisi 95 persen, namun realitanya kinerja CCS rata-rata hanya mampu menangkap sekitar 50 persen emisi.
Artinya, separuh emisi tetap dilepas ke atmosfer. Dengan kinerja buruk ini, pemanfaatan CCS malah menciptakan emisi ekstra sebesar 24,9 giga ton CO2 ekuivalen atau setara 24,9 miliar mon pada 2050, sebanyak 21,9 giga ton berupa karbon dioksida (CO2) dan 3 giga ton metana.
Di sisi lain, terdapat peluang besar Asia gagal mencapai skenario CCS kapasitas tinggi, mengingat kegagalan berbagai proyek CCS di dunia.
Jika terjadi, peningkatan emisi di Asia akan lebih besar lagi. Pengalihan sumber daya yang sempat dilakukan untuk mendukung teknologi ini membuat Asia terjebak dengan kapasitas energi fosil cukup besar dan risiko aset terlantar (stranded asset) yang signifikan.
Negara-negara Asia –seperti Tiongkok, India, Jepang, Korea, Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura serta mitra global yang menerapkan teknologi CCS di masa mendatang, akan menyumbang lebih dari separuh emisi bahan bakar fosil dan gas rumah kaca dunia.
“Alih-alih mereduksi emisi, teknologi ini justru berisiko mengunci wilayah ini pada ketergantungan energi fosil, meningkatkan biaya stranded asset, serta berisiko bagi upaya global mencapai batas pemanasan iklim 1,5 derajat Celcius,” kata James Bowen, Analis Climate Analytics dalam keterangan resminya, Senin (20/10/2025).
Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara Asia yang terus mendorong teknologi CCS. Dua negara ini memberikan dukungan finansial dan regulasi yang signifikan untuk CCS di dalam dan luar negeri, serta berupaya untuk menguasai pasar teknologi tersebut.
Padahal, sebagai negara dengan perekonomian paling matang di Asia, Jepang dan Korea Selatan memiliki peran penting untuk mewujudkan Perjanjian Paris.
Baca juga: Pakar Peringatkan, Kredit Karbon Justru Hambat Target Iklim Global
Di sisi lain, banyak negara di Asia Tenggara juga berupaya memposisikan diri sebagai pusat penyimpanan dan transit karbon. Demi memfasilitasi investasi CCS di negara, negara-negara ini bahkan sampai merombak kebijakannya, termasuk Indonesia.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menerbitkan payung hukum implementasi CCS, yakni Peraturan Presiden (PP) No 14 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon.
Aturan tersebut diperkuat dengan terbitnya beleid turunan berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 16 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan kegiatan penyimpanan karbon pada wilayah izin penyimpanan karbon dalam rangka kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon.
Meskipun industri bahan bakar fosil dan pemerintah sejumlah negara mempromosikan CCS sebagai solusi mitigasi iklim yang layak, namun teknologi tersebut terbilang gagal, baik secara teknis maupun ekonomi.
Baca juga: Investasi CCS yang Masuk Indonesia Capai Rp 640,79 triliun
Tidak hanya menyerap emisi karbon dalam jumlah yang rendah, penerapan teknologi CCS juga membutuhkan biaya yang tinggi. Teknologi ini kalah ekonomis dibandingkan dengan apabila negara-negara tersebut menerapkan mitigasi iklim melalui ekspansi energi terbarukan.
“Asia berada di persimpangan jalan, meskipun negara-negara ini belum memanfaatkan teknologi CCS dalam kapasitas besar, banyak yang telah menyesuaikan kebijakan CCS mereka untuk melindungi industri bahan bakar fosil,” Bill Hare, CEO Climate Analytics menuturkan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya