Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemanfaatan Teknologi CCS Justru Berisiko Tingkatkan Emisi Karbon

Kompas.com, 21 Oktober 2025, 17:45 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, berencana memanfaatkan teknologi penangkapan emisi karbon (carbon capture and storage/CCS) sebagai upaya untuk mengatasi emisi gas rumah kaca.

Namun, pemanfaatan teknologi tersebut justru berpotensi meningkatkan emisi wilayah ini hingga 25 miliar ton pada 2050, semakin menjauh dari target iklim yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

Dalam laporan terbaru Climate Analytics bertajuk “The global climate risks of Asia's expensive carbon capture and storage plans" terungkap, meski berhasil memasang teknologi CCS sesuai skenario kapasitas tinggi, Asia tetep akan menghadapi risiko.

Baca juga: BKPM: Usia CCS RI Capai 200 Tahun, Berpotensi Simpan hingga 577 Ton CO2

Sebab, meskipun diklaim mampu menangkap emisi 95 persen, namun realitanya kinerja CCS rata-rata hanya mampu menangkap sekitar 50 persen emisi.

Artinya, separuh emisi tetap dilepas ke atmosfer. Dengan kinerja buruk ini, pemanfaatan CCS malah menciptakan emisi ekstra sebesar 24,9 giga ton CO2 ekuivalen atau setara 24,9 miliar mon pada 2050, sebanyak 21,9 giga ton berupa karbon dioksida (CO2) dan 3 giga ton metana.

Di sisi lain, terdapat peluang besar Asia gagal mencapai skenario CCS kapasitas tinggi, mengingat kegagalan berbagai proyek CCS di dunia.

Emisi Meningkat

Jika terjadi, peningkatan emisi di Asia akan lebih besar lagi. Pengalihan sumber daya yang sempat dilakukan untuk mendukung teknologi ini membuat Asia terjebak dengan kapasitas energi fosil cukup besar dan risiko aset terlantar (stranded asset) yang signifikan.

Negara-negara Asia –seperti Tiongkok, India, Jepang, Korea, Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura serta mitra global yang menerapkan teknologi CCS di masa mendatang, akan menyumbang lebih dari separuh emisi bahan bakar fosil dan gas rumah kaca dunia.

“Alih-alih mereduksi emisi, teknologi ini justru berisiko mengunci wilayah ini pada ketergantungan energi fosil, meningkatkan biaya stranded asset, serta berisiko bagi upaya global mencapai batas pemanasan iklim 1,5 derajat Celcius,” kata James Bowen, Analis Climate Analytics dalam keterangan resminya, Senin (20/10/2025).

Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara Asia yang terus mendorong teknologi CCS. Dua negara ini memberikan dukungan finansial dan regulasi yang signifikan untuk CCS di dalam dan luar negeri, serta berupaya untuk menguasai pasar teknologi tersebut.

Padahal, sebagai negara dengan perekonomian paling matang di Asia, Jepang dan Korea Selatan memiliki peran penting untuk mewujudkan Perjanjian Paris.

Baca juga: Pakar Peringatkan, Kredit Karbon Justru Hambat Target Iklim Global

Di sisi lain, banyak negara di Asia Tenggara juga berupaya memposisikan diri sebagai pusat penyimpanan dan transit karbon. Demi memfasilitasi investasi CCS di negara, negara-negara ini bahkan sampai merombak kebijakannya, termasuk Indonesia.

Indonesia menjadi salah satu negara yang menerbitkan payung hukum implementasi CCS, yakni Peraturan Presiden (PP) No 14 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon.

Aturan tersebut diperkuat dengan terbitnya beleid turunan berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 16 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan kegiatan penyimpanan karbon pada wilayah izin penyimpanan karbon dalam rangka kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon.

Teknologi Gagal?

Meskipun industri bahan bakar fosil dan pemerintah sejumlah negara mempromosikan CCS sebagai solusi mitigasi iklim yang layak, namun teknologi tersebut terbilang gagal, baik secara teknis maupun ekonomi.

Baca juga: Investasi CCS yang Masuk Indonesia Capai Rp 640,79 triliun

Tidak hanya menyerap emisi karbon dalam jumlah yang rendah, penerapan teknologi CCS juga membutuhkan biaya yang tinggi. Teknologi ini kalah ekonomis dibandingkan dengan apabila negara-negara tersebut menerapkan mitigasi iklim melalui ekspansi energi terbarukan.

“Asia berada di persimpangan jalan, meskipun negara-negara ini belum memanfaatkan teknologi CCS dalam kapasitas besar, banyak yang telah menyesuaikan kebijakan CCS mereka untuk melindungi industri bahan bakar fosil,” Bill Hare, CEO Climate Analytics menuturkan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau