JAKARTA, KOMPAS - Terdapat tiga faktor paling berpengaruh dalam pencapaian target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) Indonesia di tahun 2060 atau lebih awal.
Menurut peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, dalam skenario apapun untuk mencapai NZE pada 2060, tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi faktor paling berpengaruh.
Di susul kemudian, kebijakan terkait sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU). Setelah itu, baru kebijakan terkait sektor energi.
Baca juga: Dukung Target NZE 2060, PLN Siap Tambah Kapasitas Energi Berbasis EBT
Ia mengritik upaya transisi energi yang justru mengorbankan faktor sektor FOLU.
"Transisi energi dalam prosesnya itu ternyata (malah) mengorbankan sektor FOLU. Misalnya, biofuel dari sawit. Kemudian bioetanol dari pembukaan lahan untuk perkebunan tebu yang ada di Merauke, karena memang sudah dilegitimasi oleh peraturan ya," ujar Sadam di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Sektor FOLU semestinya berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan bukan malah sebaliknya. Untuk mencapai target NZE di tahun 2060 atau lebih awal, pemerintah perlu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Selain itu, diperlukan pula aksi berupa peningkatan kapasitas penyerapan karbon melalui hutan alam maupun sistem lahan, serta mengurangi emisi dari kebakaran dan dekomposisi gambut.
Ia memperingatkan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi salah satu faktor paling penting jika Indonesia ingin mencapai NZE di tahun 2060 atau lebih awal. Ini karena gambut menyerap karbon paling banyak daripada ekosistem lainnya.
Di sisi lain, kalau karhutla terjadi di lahan gambut, karbon yang terlepas akan sangat banyak.
"Kalau ingin mencapai NZE itu, sudah jelas gambut ini menjadi catatan serius," tutur Sadam.
Berdasarkan data Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut, dari total 300.000 hektare Area Indikatif Terbakar (AIT), Kalimantan Barat teridentifikasi sebagai provinsi dengan AIT terluas sepanjang periode Januari hingga September 2025 atau 123.076 hektare.
Bahkan, 78.267 hektare di antaranya terjadi di area yang masuk dalam rencana operasional subnasional FOLU Net Sink.
Sebelumnya, Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai, sektor FOLU, serta energi harus bisa mencapai NZE lebih awal dari target di tahun 2060.
Dalam skenario mencapai target NZE di tahun 2060, Indonesia berupaya menghilangkan sisa emisi dengan mengandalkan ekosistem hutan dan laut sebagai penyerap karbon. Padahal, mengandalkan ekosistem hutan dan laut untuk menghilangkan sisa emisi merupakan skenario yang sangat berisiko.
Berkaca dari sejarah, kata dia, tidak ada yang bisa menjamin hutan dan lahan di Indonesia tidak mengalami penurunan kapasitas penyerapan karbon akibat deforestasi.
Baca juga: 4 Rekomendasi agar RI Beralih ke Kendaraan Listrik demi Capai NZE
"Siapa yang menjamin hutan tidak terjadi deforestasi? Pengalaman Indonesia tuh udah kelihatan banget. Misalnya ada moratorium, sebelumnya moratorium sawit ya, tapi lihat luasan sawit tetap juga. Kemudian, buka (hutan) di Merauke untuk food estate 2 juta hektar. Nanti ada presiden baru, wah, saya mau buka hutan, siapa yang dijamin?" ucapnya.
Maka dari itu, Indonesia perlu lebih ambisius dalam menetapkan target penurunan emisi dalam Second NDC. Sebaiknya, kata dia, target pencapaian NZE perlu lebih cepat, mengingat berbagai risiko jika terus diundur.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya