JAKARTA, KOMPAS.com - Member of Supervisory Board, Standard Chartered Indonesia, Adhi Sulistyo Wibowo, mengatakan proyek Waste to Energy atau WTE membutuhkan pembiayaan hijau berstandar global.
Dia berpandangan, teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) ini berpotensi masuk dalam kategori investasi berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG).
Syaratnya, memenuhi prinsip keberlanjutan dan transparansi pada setiap tahap pengembangannya.
“Dari perspektif perbankan internasional, minat terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia terus meningkat, termasuk pada sektor WTE. Namun, keberhasilan pembiayaan sangat bergantung pada kejelasan kebijakan, stabilitas proyek, serta adanya jaminan kepastian pendapatan bagi investor,” kata Adhi dalam CEO Connect yang digelar Kompas di Menara Kompas, Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
Baca juga: Tak Punya Lahan, Jakarta dan Bandung Belum Masuk Proyek Waste to Energy
Pihaknya pun aktif mendorong instrumen pembiayaan hijau guna mendukung proyek ramah lingkungan di negara berkembang. Adhi menyebutkan, penguatan tata kelola, kepastian keandalan pasokan limbah sebagai bahan baku, serta hubungan kolaborasi yang solid antar sektor menjadi kunci menarik investor.
Sementara itu, Executive Vice Presiden Aneka Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero), Daniel K F. Tampubolon, menyampaikan pengembangan proyek WTE merupakan strategi penting dalam memperkuat transisi menuju sistem kelistrikan hijau.
Karenanya, PLN tengah menyiapkan infrastruktur jaringan yang mampu menyerap listrik dari pembangkit energi terbarukan secara efisien serta terintegrasi dengan sistem kelistrikan nasional.
“PLN terus beradaptasi agar sistem kelistrikan kita mampu menerima energi hijau dari berbagai sumber, termasuk WTE. Maka dari itu, tantangannya kini bukan hanya soal intermitensi atau stabilitas daya, tetapi juga bagaimana memastikan energi yang dihasilkan bisa terdistribusi dengan efisien dan andal,” ungkap Daniel.
Sebagai informasi, pelaksanaan WTE termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Baca juga: KLH Usul Pemda Tarik Retribusi untuk Kelola Sampah Jadi Energi Listrik
Melalui Perpres itu, pemerintah menegaskan sampah bukan lagi sekadar beban lingkungan, melainkan sumber daya energi terbarukan yang dapat diolah menjadi energi listrik, biogas, biofuel, hingga bahan bakar minyak.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyatakan pentingnya analisis dampak menyeluruh dalam proyek WTE. Ini termasuk penerimaan masyarakat, penciptaan lapangan kerja lokal, jejak karbon, hingga tata kelola residu abu yang harus menjadi bagian tak terpisahkan dari perencanaan proyek.
“Proyek WTE yang baik bukan hanya soal pembangkit listrik. Ia juga harus menyelesaikan persoalan sampah kota, memberi manfaat ekonomi daerah, dan meminimalkan dampak lingkungan melalui pengelolaan abu dan emisi yang transparan,” ucap Fabby.
Ia pun menekankan bahwa kebijakan WTE perlu diselaraskan dengan karakteristik aliran limbah di masing-masing kota, karena tidak ada satu teknologi tunggal yang cocok untuk semua kondisi. Limbah organik, misalnya, membutuhkan teknologi seperti anaerobic digestion dengan keunggulan pemulihan energi dan penanganan residu.
"Sementara untuk limbah campuran dengan fraksi plastik besar, gasifikasi atau insinerasi dengan kontrol emisi ketat mungkin lebih relevan. Pilihan teknologi harus didasarkan pada karakteristik feedstock dan kapasitas pengelolaan lokal,” kata dia.
Baca juga: UNEP Kucurkan 100 Juta Dolar AS untuk Aksi Iklim, Indonesia Termasuk Penerima
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya