JAKARTA, KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Papua, terkait pemusnahan barang bukti berupa ofset dan mahkota cenderawasih. Hal ini menyusul adanya protes dari Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Kami menyampaikan permohonan maaf atas timbulnya kekecewaan dan rasa terluka yang dirasakan oleh masyarakat Papua," ujar Direktur Jenderal KSDAE Kemenhut, Satyawan Pudyatmoko, dalam keterangannya, Kamis (23/10/2025).
Dia mengungkapkan pemusnahan pada 20 Oktober 2025 itu adalah proses penegakan hukum kasus perdagangan satwa dilindungi. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang diubah melalui UU Nomor 32 tahun 2024 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Baca juga: Simpan Satwa Dilindungi Secara Ilegal, Pria di Karawang Terancam 15 Tahun Penjara
Kendati demikian, pihaknya memahami sebagian barang bukti tersebut bagian dari budaya masyarakat Papua.
"Kami memahami bahwa mahkota cenderawasih bukan sekadar benda, melainkan simbol kehormatan dan identitas kultural masyarakat Papua,” kata dia.
Satyawan menegaskan, Kemenhut tak bermaksud menyinggung, mengabaikan nilai budaya, atau melukai hati masyarakat. Karenanya, kejadian ini menjadi pembelajaran penting bagi instansinya agar mengedepankan pertimbangan aspek sosial maupun budaya.
“Konservasi tidak hanya soal menjaga dan melindungi satwa di alam, tetapi juga tentang penghormatan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal," papar Satyawan.
"Kami berkomitmen untuk terus membangun komunikasi dan kolaborasi bersama masyarakat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip saling menghormati,” imbuh dia.
Kini, Kemenhut menginstruksikan Balai Besar KSDA Papua untuk segera betkomunikasi dan berdialog dengan lembaga adat, MRP, maupun tokoh masyarakat setempat. Tujuannya, memberikan pemahaman sekaligus merumuskan mekanisme dalam penanganan barang bukti satwa liar dilindungi.
“Kami akan mengkaji kemungkinan agar barang bukti bernilai budaya dapat dikelola untuk mendukung fungsi edukatif melalui kerjasama dengan lembaga adat atau museum daerah, tanpa mengurangi aspek hukum perlindungan satwa liar,” ucap dia.
Dia menekankan konservasi cenderawasih sejalan dengan penghormatan terhadap budaya Papua. Spesies ini adalah keanekaragaman hayati, simbol, serta kebanggaan masyarakat Papua.
Baca juga: Populasi Burung Dunia Menyusut 61 Persen, Krisis Sudah di Depan Mata
Sementara itu, Ketua MRP, Nerlince Wamuar mengapresiasi tindakan pemusnahan aksesori mahkota burung cendrawasih. Namun, ia menyesalkan tidak adanya koordinasi pihak BBKSDA dengan lembaga kultur.
Mestinya, petugas berkoordinasi dengan MRP sebagai lembaga kultur guna bersama mencari solusi tepat, untuk penanganan penyebaran hewan dan benda sakral yang merupakan ikon budaya masyakarat Papua.
“Cenderawasih itu berbeda dari burung lainnya. Kami orang Tabi punya cerita rakyat dengan mitologinya bahwa burung surga itu dilahirkan seorang perempuan Tabi, sehingga sangat disayangkan jika upaya pemusnahannya dengan cara dibakar,” ucap Wamuar dikutip dari laman MRP.
Barang-barang sitaan dapat disimpan atau digunakan sebagai hiasan di kantor MRP.
Dia juga meminta BBKSDA turut memperhatikan hutan sebagai wilayah habitat asli dari hewan dilindungi.
“Hari ini kami juga sudah menyurati BBKSDA, besok akan dilaksanakan pertemuan bersama kami untuk mendengarkan klarifikasi langsung dari BBKSDA. Kami harap semua pihak bisa proaktif melindungi SDA Papua, khususnya hewan dan tumbuhan endemik yang dilindungi,” jelas Wamuar.Baca juga: PSN Merauke Dikritik Picu Deforestasi, Pemerintah Bilang Siap Reforestasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya