JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah merencanakan Waste to Energy (WtE) menjadi proyek yang bisa mengubah timbulan sampah di dalam negeri menjadi energi bersih. Proyek tersebut melibatkan PT PLN (Persero) sebagai pembeli atau offtaker tunggal untuk listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Executive Vice Presiden Aneka Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero), Daniel K F Tampubolon, mengatakan pengembangan WtE adalah strategi penting dalam memperkuat transisi menuju sistem kelistrikan hijau.
"Kami menempatkan proyek Waste to Energy pada alokasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebagai salah satu segmen bioenergi. Terkait untuk eksekusi Waste to Energy, itu merupakan salah satu bagian yang bergerak dari implementasi RUPTL," kata Daniel dalam CEO Connect di Menara Kompas, Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
Daniel menjelaskan, RUPTL mencakup keamanan energi, keterjangkauan, dan keberlanjutan. PLN mempertimbangkan pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) sebagai penyedia pasokan listrik bersih yang berakar dari kedaruratan mengawal isu pengelolaan sampah.
Baca juga: Mau Proyek Sampah Jadi Energi Sukses? Kuncinya Duit, Transparansi, dan Kebijakan Jelas
Permasalahan kesehatan bagi masyarakat akibat sampah yang tak terkelola, terutama di tempat pemrosesan akhir (TPA) dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping).
"Saya pikir PLN akan mendukung kuat proyek ini dan itu bagian yang integral dari RUPTL," tutur Daniel.
Sebelumnya, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional 2024, timbulan sampah mencapai 27,74 juta ton atau sekitar 76 ribu ton per hari. Sebagian besar masih berakhir di tempat pemrosesan akhir atau TPA.
PLTSa, kata Daniel, memiliki karakteristik berbeda dari pembangkit energi terbarukan seperti surya atau angin. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA) yang sifatnya bergantung pada kondisi cuaca. Berbeda dengan WtE yang berfungsi sebagai pembangkit dasar (base loader) yang dapat beroperasi dengan stabil sepanjang waktu.
"PLTSa ini mendorong keamanan PLN karena masuk dalam segmen yang base loader, yang dalam kategori itu mirip seperti thermal dalam hal keamanan untuk sistem kami. Dalam hal energi, bukan hanya berkelanjutan tetapi mendukung keamanan," papar Daniel.
Managing Director Danantara Indonesia, Stefanus Ade, mengatakan pemerintah daerah (pemda) yang akan mengajukan pengadaan proyek WfE ke Kementerian Lingkungan Hidup akan dikaji lebih dulu. Dia meminta setiap pemda melakukan pengujian untuk mengetahui kondisi sampah di masing-masing wilayah.
Setelah itu Danantara bakal memeriksa kembali hasil pengujian yang dilampirkan. Penilaian akan melibatkan tim internal dan pihak ketiga.
"Setelah ini semua oke, baru kami anggap kota ini layak untuk di-install insinerator untuk waste to energy. Setelah itu baru nanti Danantara akan melakukan tender," ucap Stefanus.
Proses peninjauan dan tender dilakukan untuk memastikan tata kelola proyek serta manajemen risiko berjalan baik. Menurut Stefanus, pemda menjadi pihak yang paling diuntungkan karena tidak lagi perlu menanggung biaya tinggi untuk pengelolaan sampah, karena selama ini mereka wajib membayar Rp300.000-Rp500.000 per ton untuk tipping fee yakni kompensasi atas jasa pengelolaan atau pemrosesan sampah.
Baca juga: Danantara Bakal Review Proyek Waste to Energy Sebelum Kucurkan Dana ke Pemda
Proyek ini, ucap Stefanus, juga tidak akan mengelola sampah kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Danantara berkomitmen menerapkan teknologi terbaik dengan standar emisi Uni Eropa, serta pengelolaan limbah yang ramah lingkungan.
Daniel menyampaikan, PLN menetapkan tarif listrik dari proyek WtE sebesar 20 sen dollar Amerika Serikat per kWh. Harga tersebut masih mahal atau di luar harga keekonomian.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya