Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Alexius Atep, Pilih Pertanian Organik dan Agroforestri hingga Raih Penghargaan Lingkungan

Kompas.com, 27 Oktober 2025, 09:02 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - Kisah inspiratif datang dari seorang petani asal Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Namanya Alexius Atep, sosok yang berhasil mengubah lahan pertaniannya menjadi lebih produktif sekaligus ramah lingkungan.

Berawal dari kebiasaan memanfaatkan batang kayu, kini Alexius mampu mengolah hampir semua tumbuhan di lahannya, termasuk rumput dan bahan organik lainnya, menjadi pupuk dan pestisida alami.

"Sekarang rupanya bukan batang kayu lagi yang bisa bermanfaat. Tetapi seperti rumput ini juga. Ini kalau dipotong pendek, ditumpuk, jadi kompos, jadi pupuk. Nah, dulu orang tuh kalau tanpa kayu kurang bisa hidup. Sekarang tanpa kayu orang bisa lebih sejahtera," ujar Alexius kepada Kompas.com, Sabtu (25/10/2025).

Awalnya, Alexius menanam tebu untuk dijual ke para penjual es tebu di Ketapang. Namun, seiring waktu, ia mulai mengembangkan tanaman hortikultura seperti cabai, kangkung, dan sayur-mayur lainnya. Di sela pohon karet dan rotan, ia menerapkan sistem agroforestri dan menggunakan pupuk serta pestisida organik hasil olahannya sendiri, pengetahuan yang ia peroleh dari sekolah lapang Tropenbos Indonesia sejak 2022.

Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar

"Saya mengandalkan organik. Semua pembeli sayuran yang saya jual tidak pernah merasakan rematik atau (penyakit) ini itu. Karena berkat tanaman semuanya dari organik, efek daripada asam urat dan sendi tidak ada," tutur Alexius.

Pupuk organik buatannya berasal dari bahan alami yang mudah didapat, seperti rebung, pepaya, nanas, tempe, dan kedelai yang sudah membusuk. Sementara pestisida organik dibuat dari daun-daunan tertentu yang diolah menjadi cairan pembasmi hama.

"Daun itu racun hama, Sungkai. (Selain Sungkai bisa) dengan mengkudu, dengan daun pepaya, dengan jengkol, terus ada lagi yang daun ini yang bulat-bulat nih," ucapnya.

Keberhasilan Alexius tak berhenti di lahan sendiri. Ia kini aktif membagikan ilmu dan pengalamannya kepada petani di tiga desa di dua kecamatan. Dedikasinya terhadap pertanian berkelanjutan membuatnya terpilih sebagai finalis Kompetisi Usaha Rakyat Ramah Iklim (KURRI) tingkat Kabupaten Ketapang.

Menurut Alexius, juri KURRI menilai peserta berdasarkan inovasi, konsistensi, serta keselarasan antara teori dan praktik dalam penerapan pertanian berkelanjutan.

"Ternyata dari 25 orang itu, saya sendiri yang levelnya agak di atas kawan di sini (peserta sekolah lapang di Desa Mekar Raya). Maka, saya daftar sebagai peserta lomba KURRI. Ya, alhamdulillah saya dapat juara finalis," ujar Alexius.

Baca juga: Bertemu Prabowo, Menhut Akan Lakukan Hilirisasi Agroforestri

Alexius Atep (bapak berkacamata) mengikuti sekolah lapang Tropenbos Indonesia di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, pada Sabtu (25/10/2025).Kompas.com/Manda Firmansyah Alexius Atep (bapak berkacamata) mengikuti sekolah lapang Tropenbos Indonesia di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, pada Sabtu (25/10/2025).

Sekolah Lapang: Menanam Ilmu, Menuai Kemandirian

Program sekolah lapang Tropenbos Indonesia menjadi kunci keberhasilan banyak petani di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) seperti Simpang Dua. Program ini berfokus pada peningkatan kapasitas petani agar tidak lagi “asal tanam”, melainkan memahami teknik budi daya yang mampu meningkatkan hasil panen.

Sekolah lapang menekankan 70 persen praktik langsung di lapangan dan hanya 30 persen teori. Pendekatan ini terbukti lebih efektif karena petani belajar dengan melihat dan mencoba langsung, bukan sekadar mendengar.

Salah satu hasil nyata dari program ini adalah penerapan agroforestri pada tanaman karet dan kopi. Petani diajarkan mulai dari teknik penyadapan yang benar, jarak tanam ideal, hingga pembuatan pupuk dan pestisida organik yang meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga lingkungan.

Proses belajar di sekolah lapang dirancang agar mudah dipahami. Fasilitator menggunakan bahasa lokal, menghindari istilah teknis yang rumit, dan menyesuaikan materi dengan kondisi nyata di lapangan.

Program ini berlangsung selama tujuh bulan, dengan pertemuan dua minggu sekali. Setiap sesi diawali dengan pengantar singkat, dilanjutkan pengamatan langsung di lapangan. Petani diminta mengidentifikasi masalah tanaman, mendiskusikan solusi, menggambar hasil pengamatan, dan menganalisisnya.

Setelah itu, hasil diskusi dipresentasikan untuk mendapat masukan dari fasilitator.

"Pembuatan bahan-bahan untuk pestisida nabati itu saya bertumpu pada yang ada di sini. Jadi, tidak yang dari luar. Saya selalu mengatakan, semua tanaman yang daunnya atau buahnya atau batangnya atau akarnya pahit, pasti bisa untuk menjadi bahan pestisida nabati (pestisida alami atau organik)," tutur fasilitator sekolah lapang Tropenbos Indonesia, Sukardi.

Menurut Sukardi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia mulai marak seiring dengan ekspansi sawit. Melalui sekolah lapang, ia berupaya mengalihkan kebiasaan itu ke sistem pertanian organik yang lebih ramah lingkungan dan memanfaatkan potensi lokal.

Ia berharap petani semakin mandiri menciptakan pupuk organik dari limbah pertanian dan rumah tangga, sekaligus menjaga kesehatan tanah dan keberlanjutan hidup di desa.

Baca juga: Agroforestri Efektif Jaga Biodiversitas Hutan Tropis, Gambut, Pesisir

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau