Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan Terbuka di Desa Kenanga, Keriang dan Tradisi Gasing yang Menghilang

Kompas.com, 27 Oktober 2025, 09:24 WIB
Manda Firmansyah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - Seorang petani dari Desa Kenanga, Disri Prigitta, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, menyebut, keriang atau tonggeret  sudah menghilang hampir 20 tahun terakhir.

Dahulu, suara nyaring keriang menjadi pertanda bagi petani dari Desa Kenanga untuk tidak boleh pergi ke ladang karena padinya menguning.

Selama periode pelarangan untuk pergi ke ladang, para petani dari Desa Kenanga mengisi waktu dengan bermain gasing dari kayu.

"Pamali-nya sakit sampai meninggal, meski sebenarnya itu takut kalau ke ladang petani mematahkan bulir padinya," ujar Disri di rumahnya, Kamis (23/102/2025).

Baca juga: Plastik Marak dalam Pertanian, Serasah Tersisih Meski Lebih Ramah Lingkungan

Saat padi di ladang sudah mulai merunduk, yang menjadi pertanda bulir padinya sudah berisi, matang, dan siap untuk dipanen, mereka sudah diperbolehkan datang ke ladang. Bahkan, petani dari Desa Kenanga memahami perbedaan bunyi suara nyaring keriang yang menunjukkan padi di ladang sudah merunduk.

"Bunyinya lain (antara pertanda petang dilarang ke ladang dan sudah diperbolehkan)," tutur Disri.

Keriang juga kerap diburu warga Desa Kenanga untuk dimakan. Menurut Disri, rasa daging keriang seperti belalang pada umumnya. Ketika keriang lenyap, tradisi gasing ikut menghilang. Gasing terbuat dari kayu belian atau kayu ulin yang kuat dan awet.

Selain mudah ditemukan, kayu belian dipilih sebagai bahan gasing lantaran aturan pertandingan. Ini mengingat pemenang permainan tersebut justru pemilik gasing yang tetap bisa bertahan dengan terus berputar meski telah dipukul gasing lawan.

Gasing, yang dulunya ramai dimainkan di dekat sungai, kini sudah tidak ada lagi di Desa Kenanga.

Koordinator Green Livehoods Alliance (GLA 2.0) Tropenbos Indonesia, Gusti Suganda mengatakan, ketiadaan keriang menandakan terjadi perubahan tutupan hutan di sekitar Desa Kenanga.

Ketiadaan keriang juga mencerminkan adanya ketidakseimbangan ekosistem hutan di sekitar Desa Kenanga.

"Keriang seperti musuh alami lah bagi hama tanaman. Keanekaragaman hayati di sana juga sudah banyak perubahan," ucapnya, Minggu (26/10/2025).

Populasi keriang tertekan akibat semakin menyempitnya habitatnya seiring banyaknya perubahan tutupan hutan.

Mulanya, perubahan tutupan di hutan Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Ketapang, terjadi seiring dengan alih fungsi lahan untuk budi daya karet dan kopi.

Namun, dalam satu dekade terakhir, ekspansi kelapa sawit sangat memperburuk perubahan tutupan hutan di Kabupaten Ketapang.

"Jadi, sebenarnya (menghilangnya keriang) belum (sampai) ke- 20 tahun. Tapi, keriang itu memang perubahannya juga tidak selalu di sepanjang musim ya, karena keriang juga menjadi makanan masyarakat sini," ujar Gusti.

Menurut Gusti, perubahan tutupan hutan memang berdampak terhadap sosial-budaya masyarakat adat Dayak. Apalagi, berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat adat Dayak erat kaitannya dengan hutan.

Keriang di Desa Mekar Raya

Keriang yang ditemukan di salah satu penginapan di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Minggu (26/10/2025).Kompas.com/Manda Firmansyah Keriang yang ditemukan di salah satu penginapan di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Minggu (26/10/2025).

Namun, keriang masih sering ditemukan di Desa Mekar Raya — tetangga Desa Kenanga — , Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang. Keriang kerap masuk ke rumah warga Desa Mekar Raya. Meski juga terancam dengan ekspansi kelapa sawit, kondisi hutan di Mekar Raya lebih baik daripada di Desa Kenanga.

Baca juga: Cegah Kerusakan Hutan Perlu Perlindungan Sosial Berbasis Masyarakat

"Ekosistemnya masih cukup terjaga (di Desa Mekar Raya). Cuma kan karena ini tadi, ekosistemnya mungkin sudah berubah ya. Orang buka (lahan untuk tanam) sawit ya, otomatis nanti larinya (keriang) ke rumah-rumah itu. Kalau malam-malam kan dia cenderung lebih fokus ke sinar cahaya lampu," tutur staf Tropenbos Indonesia untuk Desa Mekar Raya, Alvin.

Menurut Alvin, gasing sudah jarang dimainkan di Desa Mekar Raya saat warga menggelar acara.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau