JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) resmi menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kedua atau Second NDC ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 17 Oktober 2025. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan target Second NDC lebih ambisius dibandingkan Enhanced NDC.
Enhanced NDC memproyeksikan puncak emisi pada 2030 sebesar 1,9 gigaton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dengan dukungan sendiri atau countermeasure 1 dan 1,6 gigaton CO2e dengan dukungan internasional atau countermeasure 2.
Dia menjelaskan bahwa Indonesia menargetkan puncak emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi 1,4 giga ton untuk skenario rendah (low emission) dan 1,3 giga ton untuk skenario tinggi (high emission).
"Artinya bahwa dibandingkan Enhanced NDC, maka Second NDC ini lebih ambisius. Second NDC, angka yang disampaikan, janji yang kami sampaikan kepada UNFCCC lebih tinggi daripada dokumen sebelumnya yang kita sebut dengan Enhanced NDC," ungkap Hanif dalam A Multi-Stakeholder Dialogue: Plastic, Climate and Biodiversity Nexus Forum di Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
Baca juga: Second NDC Indonesia Dinilai Tak Partisipatif, Lemah Substansi
Menurut dia, dokumen target iklim dalam Second NDC sejalan dengan Dubai Climate Pact tentang Global Stocktake Agreement. Setiap negara anggota UNFCCC bersepakat memperbaharui target penanganan iklim setiap lima tahun.
"Artikel tersebut juga memerintahkan semua partis untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya 43 persen pada 2030 dan mendorong turun lagi 60 persen pada tahun 2035. Suatu angka ambisius yang mungkin Indonesia tidak atau belum mampu mencapainya," papar dia.
Sektor kehutanan Forestry and Other Land Use (FOLU) menjadi fokus utama dalam strategi penurunan emisi, dengan penyerap pada tahun 2030 mencapai 140 juta ton CO2 ekuivalen. Pada Second NDC, sektor ini diproyeksikan mampu menurunkan emisi sekitar 15 juta ton CO2 ekuivalen sebagai bagian dari upaya mencapai FOLU Net Sink 2030.
Berbeda dari pendekatan sebelumnya yang menggunakan skenario business as usual, NDC kedua memakai skenario proyeksi emisi Current Policy Scenario (CPOS) serta data tahun 2019 untuk menentukan target penurunan emisi.
CPOS merupakan kelanjutan dari countermeasure 1 yakni kebijakan, program, dan aksi mitigasi utama dalam Enhanced NDC.
Baca juga: IESR Perkirakan Ada Perbaikan di Second NDC, Tapi Tetap Tak Jawab Target Perjanjian Paris
Sebelumnya, Indonesia dalam Enhanced NDC menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen dicapai dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan global.
Di sisi lain, Hanif menyoroti Indonesia belum akan mencapai puncak emisi pada 2035. Ini merupakan periode ketika total emisi GRK suatu negara mencapai level maksimum sebelum mulai menurun secara permanen.
"Sektor energi itu diproyeksikan akan mencapai puncak emisi di tahun 2038 sesuai dengan skenario dari teman-teman Kementerian ESDM. Namun di tahun 2035 angka emisi total telah kami tarik ke bawah melalui penguatan sektor penyerapan FOLU," ungkap Hanif.
Sehingga, reforestasi harus lebih tinggi dibandingkan tingkat deforestasi. Setidaknya, reforestasi perlu mencapai 12 jua hektare untuk penyerapan emisi.
Oleh sebab itu, KLH bekerja sama dengan negara lain dengan Mutual Recognition Arrangement (MRA) terkait perdagangan karbon untuk pendanaan.
Baca juga: Pajak Makanan, Solusi Ganda Selamatkan Nyawa Sekaligus Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya