Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Iklim bagi Gen Z Masih Soal Cuaca Ekstrem, Pelibatan Mereka Sekadar Formalitas

Kompas.com, 30 Oktober 2025, 11:00 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Generasi Z — anak muda kelahiran 1997–2012 — kini tumbuh di tengah krisis iklim yang semakin nyata. Berdasarkan riset Climate Rangers terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta, anak muda sadar bahwa apa yang mereka rasakan saat ini merupakan dampak krisis iklim. Namun, sebanyak 95,5 persen responden masih memahami krisis iklim sebatas cuaca ekstrem.

Gen Z menanggung beban dari keputusan generasi sebelumnya yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi di atas keberlanjutan. Akibatnya, mereka kini hidup di tengah suhu bumi yang terus meningkat, udara yang makin tercemar, serta bencana seperti banjir, kekeringan, dan kerusakan lingkungan yang semakin sering terjadi.

“Dampak krisis iklim itu sangat kompleks, termasuk pada kesehatan fisik dan mental, ketahanan pangan, hingga kerusakan infrastruktur akibat bencana seperti banjir dan rob,” ujar Campaign dan Communication Staff Climate Rangers, Febriani Nainggolan, dalam keterangan tertulis, Selasa (28/10/2025).

Baca juga: Gen Z Bisa Bergerak Lawan Krisis Iklim, Jangan Sampai Jadi Lost Generation

Anak yang lahir pada 2020 diperkirakan akan mengalami dampak krisis iklim jauh lebih parah dibanding generasi kakeknya. Mereka akan menghadapi gelombang panas tujuh kali lebih banyak, kekeringan tiga kali lebih sering, serta banjir bandang yang lebih intens.

Meski tanggung jawab terbesar dalam menghadapi krisis iklim berada di tangan pemerintah, riset itu mencatat bahwa 62,4 persen responden menilai pelibatan anak muda oleh pemerintah masih bersifat tokenisme — sekadar formalitas tanpa makna.

“Orang muda sering hanya diundang secara simbolis, bukan untuk benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal kitalah yang paling merasakan dampaknya,” ucap Febriani.

Ia menilai, kebijakan iklim Indonesia masih belum cukup ambisius. Emisi gas rumah kaca (GRK) diproyeksikan tetap meningkat, meski dengan bantuan sektor hutan dan lahan (FOLU). Lewat jaringan Climate Rangers di 32 provinsi, anak muda Indonesia menuntut pemerintah dan negara-negara dunia menerapkan kebijakan iklim yang adil dan ambisius. Mereka juga menolak solusi palsu dan mendesak percepatan transisi energi yang berkeadilan.

Namun, anak muda masih kerap dipandang sebagai beban, bukan kelompok rentan yang perlu dilindungi. Padahal, generasi muda termasuk pihak yang paling terdampak oleh krisis iklim. Karena itu, pelibatan mereka sebagai aktor perubahan menjadi sangat penting — sebab krisis iklim adalah persoalan masa depan mereka sendiri.

Baca juga: Survei di 44 Negara: Milenial dan Gen Z Tak Cuma Peduli Gaji, tetapi Juga Sustainability

Untuk mengatasi krisis ini, dunia telah bersepakat dalam Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat C dibanding tingkat pra-industri. Namun, suhu bumi kini sudah naik 1,3 derajat C. Bahkan, dalam skenario paling optimistis, kenaikan diperkirakan mencapai 1,9 derajat C, melampaui ambang batas aman.

Sebelumnya, Lead Program Green Development MADANI Berkelanjutan, Resni Soviayana, mengatakan Gen Z perlu menjadi pengamat kritis terhadap keadilan iklim. Mereka juga harus mendorong isu ini masuk dalam agenda politik serta menginisiasi gerakan dan inovasi hijau.

Menurut Resni, kegelisahan akibat krisis iklim yang dirasakan anak muda bisa menjadi energi baru untuk bergerak. “Gen Z masih punya ruang, masih punya waktu, dan masih punya banyak energi banget untuk mengubah pola pikirnya supaya jangan jadi lost generation, tapi Gen Z jadi semacam generasi harapan untuk masa depannya Indonesia,” ujarnya dalam webinar, Sabtu (11/10/2025).

Sementara itu, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan Gen Z perlu menagih pertanggungjawaban atas ulah generasi sebelumnya yang berkontribusi besar terhadap krisis iklim saat ini.

Ia juga mendorong agar Gen Z memastikan kehidupan generasi berikutnya lebih baik, salah satunya dengan mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim menjadi undang-undang.

“Ketika orang-orang muda enggak mau jadi lost generation, yang harus ditagihkan kepada generasi di atas ya pertanggungjawaban ini (menangani krisis iklim). Jadi dorong tanggung jawab antar generasinya untuk menghasilkan kebijakan yang jauh lebih baik,” ucap Uli.

Baca juga: Gen Z Kini Tak Lagi Sekadar Nyeruput Kopi, Isu Keberlanjutan Jadi Urgensi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau