Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Azzam Fawwaz
Direktur Bidang Informasi Indonesian Coexistence

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Menebus Keadilan Arjuno Welirang

Kompas.com, 2 November 2025, 05:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

GUNUNG Arjuno, yang selama ini menjadi penyangga kehidupan di Jawa Timur, kini tengah menghadapi ujian baru. Di balik kabut pinus dan suara burung pagi, bayangan beton mulai naik perlahan di lereng-lerengnya. Rencana pembangunan kawasan real estate di Kaki Arjuno seolah menjadi simbol benturan klasik antara ambisi ekonomi dan kelangsungan ekologi.

Di satu sisi, pembangunan menjanjikan membawa kemajuan; Di sisi lain, warga yang hidup di kaki gunung justru dihantui kekhawatiran kehilangan tanah, udara, dan rasa aman. Spanduk “Tolak Perumahan di Lereng Arjuno” kini dipasang di jalan-jalan desa. Warga membentuk posko pengawasan, bahkan melaporkan ke DPRD dan instansi terkait.

Kekhawatiran mereka sederhana namun mendalam: tanah yang pijak mereka bukan hanya tempat tinggal, tapi juga sumber kehidupan. Jika hutan di lereng Arjuno digunduli untuk proyek properti, siapa yang akan menahan air saat musim hujan datang?

Data Badan Geologi menyebut kawasan Arjuno termasuk wilayah dengan potensi pergerakan tanah tinggi, terutama pada lereng curam di atas 30 derajat. Dalam catatan BNPB, beberapa titik di Kecamatan Prigen dan Lawang pernah mengalami longsor dan banjir bandang pada tahun 2023 akibat konversi hutan menjadi lahan terbuka. Artinya, ancaman yang menakutkan warga bukanlah fiksi, melainkan fakta geologis.

Baca juga: Warga Tolak Real Estate di Lereng Gunung Arjuno, DPRD Pasuruan Bentuk Pansus

Ekologi yang Tergusur

Para peneliti dari Universitas Brawijaya dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyebutkan, hutan di kawasan Arjuno–Welirang berfungsi sebagai resapan air dan penyangga ekosistem di hulu sungai Brantas. Jika kawasan ini berubah menjadi organisasi padat, kemampuan tanah menyerap air akan menurun drastis. Dampaknya bukan hanya pada longsornya risiko, tapi juga kekeringan pada musim kemarau karena sumber air menipis.

Vegetasi ekologi di lereng Arjuno bekerja seperti spons raksasa yang menyerap air hujan dan mengalirkannya perlahan ke bawah. Namun, permukaan semen dan aspal akan mengubah fungsinya menjadi limpasan cepat. Di lereng yang curam, limpasan ini berubah menjadi aliran deras yang membawa tanah dan batu—bencana yang tinggal menunggu waktu.

Menurut teori hidrologi, pembukaan lahan alami sebesar 10% saja sudah bisa meningkatkan debit banjir hingga 50%. Maka, membangun kompleks perumahan di kawasan konservasi sama saja mempercepat kehancuran ekologi yang dampaknya dirasakan melintasi wilayah—dari hulu hingga hilir.

Baca juga: 3 Kelurahan di Prigen Pasuruan Tolak Real Estate, Pansus: Warga Tidak Boleh Masuk Angin

Ketimpangan dan Luka Sosial

Di balik persoalan lingkungan, terdapat dimensi sosial yang tak kalah genting. Warga desa di sekitar Arjuno sebagian besar menggantungkan kehidupan dari pertanian, kopi, sayur, dan wisata alam. Pembangunan real estate berisiko menggusur lahan pertanian produktif, menaikkan harga tanah, dan mendorong marginalisasi sosial-ekonomi warga lokal.

“Dulu kami bisa menanam dan menjual hasil bumi ke wisatawan. Sekarang, tanah-tanah itu dijual ke investor, kami jadi penonton,” ujar seorang warga Dusun Cangar kepada media lokal. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana proyek besar sering kali datang tanpa mekanisme partisipasi masyarakat. Mereka tak diajak bicara, hanya diberi kabar bahwa tanah di sekitar mereka akan berubah fungsinya.

Konsep keadilan lingkungan (environmental justice) menyoroti ketimpangan seperti ini: kelompok ekonomi menikmati keuntungan yang kuat dari pembangunan, sementara masyarakat miskin menanggung beban ekologis dan sosialnya. Dalam konteks Arjuno, “kemajuan” berubah menjadi ironi—di satu sisi perumahan mewah naik di lereng, di sisi lain warga kehilangan sumber air bersih dan rasa aman.

Hukum yang Longgar, Izin yang Kabur

Permasalahan utama dalam proyek ini bukan sekedar tujuan membangun, melainkan proses dan izin yang diduga tidak transparan. DPRD Kabupaten Pasuruan telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk meninjau dokumen kepemilikan lahan dan kelayakan izin lingkungan. Namun hingga kini, hasil investigasi belum diumumkan secara terbuka.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan juga menyoroti potensi pelanggaran tata ruang. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pasuruan, sebagian besar kawasan lereng Arjuno tergolong sebagai zona lindung dengan fungsi konservasi dan resapan. Jika izin real estate diterbitkan tanpa perubahan tata ruang resmi, maka secara hukum, pembangunan itu bisa termasuk cacat administrasi.

Ahli tata kota dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Suryono, dalam wawancara dengan media menyebutkan bahwa pembangunan di kawasan lereng curam memerlukan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat dan melibatkan masyarakat. “Tanpa konsultasi publik dan audit ekologi independen, izin semacam itu bisa membahayakan nyawa dan kelangsungan hidup ruang hidup warga,” ujarnya.

Ancaman Nyata di Balik Janji

Pembangunan real estate di Arjuno bukanlah kasus tunggal. Fenomena serupa terjadi di Puncak, Dieng, dan kawasan kaki Merapi. Di banyak tempat, janji “pengembangan ekonomi” dan “peningkatan wisata” sering berakhir pada degradasi ekologis dan ketimpangan sosial. Ironinya, keuntungan ekonomi jangka pendek sering dijadikan pembenaran atas kerusakan lingkungan jangka panjang. Padahal, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lebih dari 1,3 juta hektar hutan di Jawa telah beralih fungsi dalam dua dekade terakhir.

Di tengah krisis iklim dan defisit udara, mengorbankan kawasan konservasi seperti Arjuno demi proyek properti hanyalah memperparah ekologis ekologis Jawa Timur. Dalam pandangan sosiolog lingkungan, Dr. Pujo Santoso, praktik semacam ini disebut “ekstraktivisme baru” — bentuk penjarahan ruang ekologis dengan kemasan modern: bukan pertambangan atau industri berat, tetapi properti dan wisata. “Yang dijual bukan hanya tanah, tapi imajinasi tentang keindahan alam, sementara yang hilang adalah daya hidup masyarakat sekitar,” katanya.

Menjaga Lereng, Menjaga Masa Depan

Kini, warga masih mempertahankan posko dan menyuarakan ketidakpuasan. Beberapa kelompok pelajar dan pecinta alam ikut bergabung, sepanjang audit independen dan moratorium pembangunan. Tuntutan mereka yang sederhana: kembalikan Arjuno sebagai ruang hidup, bukan ruang komersial.

Pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas: menghentikan sementara seluruh kegiatan konstruksi sampai hasil kajian lingkungan selesai. Pemerintah pusat, lewat KLHK, juga harus memastikan tidak ada izin yang melewati batas kawasan lindung. Lebih dari itu, sudah saatnya paradigma pembangunan berubah—dari menjual alam menjadi menjaga alam.

Gunung Arjuno bukan sekedar lanskap; ia adalah jantung ekologis yang menyalurkan kehidupan bagi jutaan warga di hilir. Mengabaikan keseimbangan itu berarti merusak masa depan seluruh kawasan. Ketika lereng mulai runtuh, bukan hanya rumah warga yang hancur—tapi juga rasa keadilan dan tanggung jawab kita sebagai bangsa terhadap alam yang memberi kehidupan.

Baca juga: Warga 3 Kelurahan Pasuruan Tolak Pembangunan Real Estate di Lereng Gunung Arjuno

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau