Ketika pemerintah berbicara tentang energi nasional, masyarakat berbicara tentang keberlanjutan tempat tinggal mereka. Kedua dimensi ini sama pentingnya, tetapi sering kali tidak berada dalam meja dialog yang setara.
Baca juga: Indonesia Siap Bangun PLTN, Bagaimana Mitigasi Pembuangan Limbahnya?
Argumentasi teknis bahwa PLTN modular lebih aman tentu memiliki dasar, tetapi keselamatan bukan hanya urusan reaktor. Keselamatan adalah pengalaman yang dirasakan masyarakat, bukan hanya laporan yang diselesaikan regulator. Dengan kata lain, risiko dalam perspektif publik adalah fungsi dari transparansi, bukan hanya fungsi dari desain teknologi. Karena itu, PLTN Gelasa membutuhkan tata kelola risiko yang publik-sentris.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi jika pemerintah ingin proyek ini memiliki legitimasi sosial:
Tanpa kerangka governance seperti ini, rasa aman publik tidak akan pernah terbentuk.
Baca juga: Diserbu Ubur-ubur, PLTN Perancis Langsung Lumpuh
Jika pemerintah ingin PLTN Gelasa diterima, maka keterlibatan masyarakat tidak dapat berhenti pada forum sosialisasi. Diperlukan mekanisme formal partisipasi publik agar masyarakat memiliki posisi setara dalam diskusi risiko. Salah satu bentuknya adalah pembentukan Dewan Pengawas Publik (Citizen Oversight Board) yang anggotanya berasal dari komunitas terdampak, akademisi lokal, dan pemantau independen.
Dewan ini memiliki fungsi bukan hanya menerima penjelasan, tetapi juga menilai, mempertanyakan, dan memberikan persetujuan sosial dalam tahapan penting pembangunan. Konsep ini telah diterapkan di beberapa negara dengan proyek energi risiko tinggi untuk memastikan bahwa masyarakat tidak kehilangan posisi dalam proses pengambilan keputusan.
Di era demokrasi energi, tata kelola risiko adalah urusan publik, bukan milik teknokrat semata.
Baca juga: RI Buka Peluang Pakai Teknologi China atau Rusia untuk Bangun PLTN
PLTN dapat menjadi lompatan besar bagi masa depan energi Indonesia. Namun sebuah proyek strategis hanya dapat disebut berhasil jika masyarakat merasa menjadi bagian dari keputusan, bukan korban dari keputusan.
Transparansi teknis perlu diterjemahkan ke dalam transparansi demokratis. Jika pemerintah menempatkan masyarakat sebagai mitra, bukan sebagai objek, maka kepercayaan publik akan tumbuh, dan risiko akan dilihat sebagai sesuatu yang dapat dikelola, bukan ditakuti.
Keputusan membangun PLTN bukan hanya urusan sains, tetapi urusan legitimasi publik. Dalam proyek bernilai strategis dan berdampak luas seperti ini, hak masyarakat untuk mengetahui dan mengawasi adalah syarat etis dan kebijakan. Transisi energi hanya dapat disebut adil jika masyarakat yang hidup berdampingan dengan PLTN diberi ruang untuk berperan aktif dalam menentukan masa depannya sendiri.
Baca juga: PLN Nusantara Power Gandeng Perusahaan Singapura Kaji Pembangunan PLTN di Babel
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya