JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia telah memperbarui target puncak emisi gas rumah kaca (GRK) dalam dokumen komitmen iklim terbarunya, Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
Dalam dokumen itu, Indonesia menargetkan puncak emisi pada 2030 dan mulai menurunkan emisi pada 2035. Namun, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menekan emisi besar-besaran dari sektor energi.
Emisi dari sektor energi masih menjadi penyumbang terbesar GRK nasional. Terlebih, jika emisi dari scope 2 (konsumsi energi perusahaan) dan scope 3 (seluruh rantai nilai di luar aktivitas perusahaan) ikut dihitung.
Hingga kini, perhitungan emisi dari sektor ini bahkan belum mencakup gas metana (CH4), yang daya rusaknya terhadap iklim jauh lebih kuat dibanding karbon dioksida.
Menurut juru kampanye energi Trend Asia, Novita Indri Pratiwi, langkah paling efektif untuk menurunkan emisi sektor energi adalah dengan menghentikan ketergantungan pada batu bara.
“Makanya, dorongan untuk pemensiunan PLTU, tidak ada pembangunan PLTU baru, tidak ada perpanjangan usia batu bara, (entah) PLTU pakai co-firing lah, pakai apalah segala macam, karena itu jika Indonesia bisa benar-benar meninggalkan batu bara, emisi kita bisa turun dengan signifikan,” ujar Novita di Jakarta, Selasa (4/10/2025).
Baca juga: Lembaga Ini Sebut Pengoperasian 20 PLTU di Indonesia Sebabkan 156.000 Kematian Dini
Namun, komitmen itu dinilai belum menyentuh seluruh sumber emisi. Emisi dari industri, terutama industri nikel yang tengah digencarkan lewat hilirisasi, belum sepenuhnya terakomodir dalam SNDC.
“Nah, masalah lainnya adalah apakah emisi dari captive ini sudah diperhitungkan? dan diakumulasikan untuk menjadi target puncak emisi kapan dan turun kapan? Karena kalau mengacu pada SNDC, yang di-submit pemerintah dari sektor industri selain yang disebutkan dalam dokumen itu, (berarti) belum ter-cover,” ucapnya.
Novita menyoroti bahwa industri nikel seharusnya juga merilis data emisi GRK secara tahunan agar kontribusinya terhadap puncak emisi nasional bisa dihitung secara transparan.
“Masa' cuma yang on-grid doang, yang listrik dari PLN doang yang diproyeksikan. Tapi yang industri ini bagaimana? Kalau bicara terkait puncak emisi, merujuk SNDC target puncak emisi pada 2030, turunnya nanti tahun 2035, kemudian bagaimana akumulasinya (dengan industri nikel), mitigasi, adaptasi dari dampak-dampak yang dihasilkan seperti apa, belum secara clear diartikulasikan,” tutur Novita.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menegaskan bahwa emisi metana dari sektor energi juga belum tertangani dengan baik, padahal dampaknya terhadap pemanasan global lebih dari 20 kali lipat dibanding karbon dioksida (CO2).
“Nah, kalau ini dilakukan ya, misalnya mengatasi flaring, memperbaiki kebocoran untuk distribusi gas, itu bisa mengurangi emisi metana. Yang kita lihat sebelumnya itu (terfokus ke) banyaknya emisi (metana) dari sektor pertanian. Tapi, sektor energi tinggi juga,” ujar Fabby dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Baca juga: PLN Mengaku Siap Kaji Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya