Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batu Bara Sudah Tidak Cuan, Terus Bergantung Padanya Sama Saja Bunuh Diri Perlahan

Kompas.com, 6 November 2025, 08:00 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Batu bara yang dulu jadi “mesin uang” Indonesia kini sudah kehilangan pamor. Terus bergantung padanya sama saja bunuh diri pelan-pelan secara ekonomi maupun lingkungan.

Laporan terbaru lembaga riset energi Ember yang dirilis pada Kamis (6/11/2025) menyebut, rekor produksi batu bara nasional justru menimbulkan kerugian.

Pada 2024, produksi batu bara Indonesia mencapai 836 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Namun, yang terjadi justru kelebihan pasokan, yang akhirnya justru menekan harga, memangkas keuntungan perusahaan, dan melemahkan pendapatan negara.

“Daerah penghasil batu bara di Indonesia harus segera bersiap menghadapi penurunan pendapatan. Begitu anggaran publik menurun, akan semakin sulit untuk melakukan diversifikasi ekonomi lokal,” ujar Timon Wehnert, Kepala Unit Riset Transisi Energi Internasional di Wuppertal Institut.

Baca juga: Pensiun Dini Batu Bara Ancam Ribuan Pekerja, Menaker Perlu Petakan Green Jobs

Laba Anjlok, Penerimaan Negara Turun

Krisis energi global pada 2022 sempat membuat harga batu bara melejit di atas 400 dolar AS per ton, mendongkrak pendapatan negara. Tapi momentum itu kini hilang.

Pada 2024, laba bersih perusahaan batu bara turun di bawah level 2021 atau merosot 67 persen dibanding puncaknya di 2022. Pendapatan negara bukan pajak dari sektor ini juga anjlok 18,6 persen.

Bahkan jika target pemerintah tahun ini tercapai, nilainya tetap akan lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Di sisi lain, produksi batu bara mulai menurun. Dalam enam bulan pertama 2025, produksi turun 33 juta ton akibat melemahnya pasar ekspor dan domestik.

Ekspor ke Tiongkok dan India, dua pasar terbesar yang selama ini menyumbang 60 persen perdagangan batu bara Indonesia, ikut menurun karena keduanya mempercepat penggunaan energi terbarukan dan memperkuat pasokan domestik.

Akibatnya, permintaan batu bara Indonesia diperkirakan turun sekitar 10 persen pada 2025 dibanding tahun sebelumnya.

Emisi Naik, Risiko Lingkungan Meningkat

Tak hanya soal uang, dampak lingkungannya pun memburuk. Ember memperkirakan emisi metana dari tambang batu bara (CMM) pada 2024 mencapai 722 kiloton, atau lebih dari empat kali lipat angka resmi pemerintah.

Perbedaan besar ini muncul karena lemahnya aturan, termasuk penggunaan faktor emisi yang tak sesuai dan pengabaian tambang bawah tanah.

Baca juga: Surya dan Angin Kalahkan Batu Bara, Saatnya Semua Gaspol Investasi Hijau

Emisi ini diperkirakan melonjak 25 persen lagi pada 2030, bahkan jika produksi menurun. Lonjakan tersebut terutama dipicu ekspansi besar tambang bawah tanah di Kalimantan Selatan yang ditargetkan menghasilkan 20 juta ton per tahun. Tambang ini saja bisa menyumbang sekitar 332 kiloton CH? pada 2030, belum termasuk ancaman jangka panjang dari kebocoran metana di tambang terbengkalai setelah ditutup.

Perlu Berhenti Ekspansi, Mulai Transisi

Ember menegaskan, arah kebijakan batu bara harus segera berubah dari ekspansi ke pengelolaan.

Pemerintah diminta menghentikan penerbitan izin tambang baru dan menerapkan batas produksi jangka panjang yang ketat dalam proses persetujuan rencana kerja (RKAB).

“Strategi batu bara yang berpandangan ke depan dan berorientasi pada transisi energi sangat dibutuhkan untuk mengarahkan industri dan membantu daerah penghasil batu bara beradaptasi dengan perubahan lanskap energi,” kata Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi Indonesia di Ember.

Selain itu, pemerintah disarankan mewajibkan pelaporan emisi di tingkat fasilitas bagi semua pemegang izin, serta mengembangkan faktor emisi khusus Indonesia untuk menggantikan metode lama yang sudah tidak relevan.

“NDC Kedua Indonesia yang baru diserahkan ke PBB, yang mencakup komitmen pengurangan emisi metana dari tambang batu bara, menjadi pijakan penting untuk pelaksanaan kebijakan ini,” tambah Dody.

Baca juga: Kaltim Bisa Keluar dari Ekonomi Minyak dan Batu Bara, Masa Depan Hijau Sudah Terlihat

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau