JAKARTA, KOMPAS.com – Di ruang gelap yang dipenuhi dengung percakapan penonton, keheningan tiba-tiba terasa begitu utuh. Saat lampu sorot menimpa panggung, barisan pemain mulai bergerak, tanpa satu kata pun terdengar. Meski demikian, pesan itu jelas, hidup, dan menyentuh jauh melampaui suara.
Itulah Jemari, teater musikal Tuli pertama di Indonesia yang dipersembahkan oleh Fantasi Tuli bertepatan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional di Komunitas Salihara, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Pertunjukan ini hadir sebagai pengingat bahwa seni tidak pernah dimiliki oleh satu kelompok saja.
“Kalau ada kemauan dan lingkungan yang mendukung, semua bisa,” kata Produser Musikal Jemari Pascal Meliala.
Baginya, Jemari bukan sekadar pertunjukan, melainkan pernyataan publik bahwa teman-teman Tuli mampu melakukan hal yang selama ini dianggap mustahil, yakni tampil dalam musikal sebagai pertunjukan yang sangat mengandalkan suara.
“Kami ingin menunjukkan bahwa musikal bisa menyatukan Tuli dan Dengar,” ujar Pascal.
Sutradara Hasna Mufidah mengangguk setuju. Ia seorang Tuli dan telah lama bermimpi membuat karya yang memberi ruang representasi lebih adil.
“Ini pertama kali teman Tuli dan Dengar tampil bersama dalam satu musikal penuh. Dan kami ingin penonton merasakan bahwa seni bisa menjadi jembatan, bukan batas,” tutur perempuan yang akrab disapa Mufi itu.
Baca juga: Hari Disabilitas Internasional 3 Desember: Sejarah Lengkap dan Tema Resmi 2025
Tidak ada yang instan dari Jemari. Mufi menceritakan bahwa persiapan memakan waktu enam bulan yang dimulai dari riset mendalam tentang kehidupan keluarga dengan dinamika Tuli dan Dengar, baik tentang orangtua dengar dengan anak Tuli, orangtua Tuli dengan anak dengar, maupun keduanya Tuli.
Tim produksi ingin ceritanya terasa universal, dekat, dan dapat dipahami siapa pun, tanpa menjadikan disabilitas sebagai pusat belas kasih.
“Kami ingin ceritanya soal keluarga, karena itu pengalaman yang bisa dipahami siapa saja,” kata Mufi.
Lalu dimulailah tiga bulan latihan intensif yang mempertemukan 17 pemain dari dua dunia berbeda, yakni sembilan teman Tuli dan delapan teman Dengar.
Menariknya, menurut Pascal, tantangan mereka bukanlah perbedaan kemampuan pendengaran.
“Teman-teman Tuli justru punya kemauan yang besar. Mereka disiplin sekali,” katanya.
Tantangan terbesar justru datang dari luar, yakni kenyataan bahwa teater musikal belum benar-benar menjadi industri di Indonesia. Banyak pemain harus membagi waktu antara pekerjaan atau kuliah dengan latihan, sedangkan pertunjukan akhir pekan bisa mencapai dua kali sehari.
Baca juga: Bali Luncurkan Unit Layanan Disabilitas untuk Penanggulangan Bencana
Di sisi artistik, desain musikal yang menggunakan playback dipilih bukan tanpa alasan. Musik live bisa menghadirkan dinamika yang menarik, tetapi dalam konteks inklusif, konsistensi ritme dan tempo penting agar pemain Tuli dapat menandai momen dengan tepat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya