Dari segi cakupan, SNDC Indonesia memang sudah cukup komprehensif, dengan mengakomodasi sektor energi, industri, pertanian, limbah, dan kelautan. D
ari segi transparansi, SNDC Indonesia sudah menunjukkan perbaikan, yang mana target penurunan diubah dengan format emisi absolut di bawah tahun referensi 2019.
Namun, dalam SNDC, Indonesia menetapkan target pada 2035 tanpa memperbarui target tahun 2030-nya. Padahal, pembaharuan target tersebut perlu sebagai tindak lanjut hasil Global Stocktake.
“Pemerintah menyampaikan niat untuk melampaui target bersyarat 2030, tetapi tanpa diformalkan, langkah ini belum menunjukkan perbaikan nyata terhadap target jangka pendek," ujar Koordinator Kebijakan Iklim Institute for Essential Services Reform (IESR),
Delima Ramadhani dalam keterangan tertulis, Senin (8/12/2025).
Pada sektor energi, Indonesia menargetkan puncak emisi GRK pada 2038, lebih lambat dari proyeksi sebelumnya. Hal ini menunjukkan, strategi pembangunan ekonomi Indonesia masih bergantung tinggi emisi GRK.
Indonesia tidak menyertakan komitmen eksplisit untuk phase-out bahan bakar fosil atau pengurangan batu bara secara bertahap.
Penggunaan batu bara juga masih dipertahankan dengan teknologi clean coal dan co-firing biomassa dalam bauran kebijakan energi. Indonesia masih sangat bergantung pada sektor kehutanan dan lahan untuk menurunkan emisi GRK. Indonesia berupaya menghindari pengurangan nyata emisi GRK pada sektor energi.
Tanpa penyerapan dari sektor kehutanan dan lahan, dalam skenario tidak bersyarat, emisi GRK Indonesia pada 2035 diproyeksikan naik hingga 98 persen di atas emisi GRK tahun 2019.
Sementara itu, dalam skenario bersyarat atau dengan bantuan internasional, emisi GRK Indonesia pada 2035 diproyeksikan naik hingga 54-84 persen di atas emisi GRK tahun 2019.
Baca juga:
Ilustrasi Indonesia sebagai negara maritim. Potret perahu nelayan di Pantai Ngrenehan, GunungkidulDalam menjaga semangat aksi iklim pasca-COP30, Indonesia memiliki peluang politik untuk mengambil peran kepemimpinan di antara negara Global South.
Indonesia dinilai bisa melakukannya jika mau mewujudkan ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100 persen energi terbarukan pada tahun 2035.
Menurut Manajer Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, ambisi Prabowo dapat diwujudkan melalui tiga langkah strategis. Pertama, Indonesia perlu memperjuangkan isu iklim dan transisi energi dalam forum internasional sebagai jangkar pembangunan hijau. Indonesia harus memberikan teladan dengan memastikan ambisinya yang disampaikan di panggung dunia selaras dengan kebijakan nasional.
Kedua, Indonesia perlu menerjemahkan keputusan multilateral menjadi kemitraan konkret.
“Indonesia memiliki rekam jejak sebagai pemimpin dalam menyediakan fondasi proses global, baik saat menjadi host COP-13 yang menghasilkan Bali Roadmap, G20 Chairmanship (2022) yang melahirkan Bali Compact dan Bali Energy Transition Roadmap, serta pada saat keketuaan ASEAN yang menghasilkan ASEAN Strategy for Carbon Neutrality. ” terang Arief.
Ketiga, Indonesia harus mengamplifikasi inisiatif dan keputusan dalam mendukung energi baru terbarukan (EBT). Indonesia perlu mengadopsi sekaligus menggaungkan keputusan formal maupun inisiatif non-formal dari COP30.
Hal itu, khususnya, yang secara praktik mengakselerasi EBT dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.
Baca juga: Kritik Pedas SNDC Kedua: Cuma Lempar Beban Penurunan Emisi ke Pemerintahan Pasca 2029
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya