KOMPAS.com – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menegaskan komitmennya untuk terus beradaptasi agar sistem kelistrikan nasional mampu menerima energi hijau dari berbagai sumber, termasuk waste to energy (WTE).
Pernyataan tersebut disampaikan Executive Vice President Aneka Energi Baru Terbarukan PLN Daniel KF Tampubolon dalam forum CEO Connect sesi keempat yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Forum yang menjadi bagian dari 16th Kompas100 CEO Forum powered by PLN itu mengangkat tema “Waste To Energy: Investasi dan Sinergi Pendorong Keberlanjutan”.
Dalam forum tersebut, Daniel menegaskan bahwa pengembangan proyek WTE menjadi strategi penting dalam memperkuat transisi menuju sistem kelistrikan hijau dan berkelanjutan.
Baca juga: Dibangun di 33 Kota, Proyek Waste to Energy Butuh Rp 91 T
Oleh karena itu, PLN kini tengah menyiapkan infrastruktur jaringan yang mampu menyerap listrik dari pembangkit energi terbarukan secara efisien dan terintegrasi dengan sistem kelistrikan nasional.
“Tantangannya kini bukan hanya soal intermitensi atau stabilitas daya, tetapi juga bagaimana memastikan energi yang dihasilkan bisa terdistribusi dengan efisien dan andal,” ujar Daniel dalam keterangan resminya, Jumat (24/10/2025).
Selain perwakilan PLN, forum CEO Connect sesi keempat juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah, pelaku industri, serta sektor-sektor investasi berkelanjutan.
Forum kali ini menjadi ruang dialog lintas sektor untuk membahas pengelolaan limbah agar dapat bertransformasi menjadi sumber energi alternatif, sekaligus membuka peluang investasi hijau dan memperkuat ekosistem ekonomi berkelanjutan di Indonesia.
Baca juga: Investasi Hijau Berpotensi Buka 7-10 Kali Lebih Banyak Lapangan Kerja
Dari sisi finansial, Managing Director Danantara Indonesia Stefanus Ade menyoroti pentingnya penataan skema pembiayaan yang adaptif dan kolaboratif untuk mempercepat realisasi proyek WTE di Indonesia.
Menurutnya, keberhasilan pengembangan WTE sangat bergantung pada perancangan proyek yang tidak hanya mengedepankan sisi teknologi, tetapi juga sisi kelayakan finansial dan kepastian ekosistem pendukungnya.
“Setiap proyek WTE harus dilihat secara holistik, mulai dari ketersediaan pasokan limbah, keandalan teknologi, hingga kepastian hukum dan kebijakan tarif listrik. Tanpa kejelasan di aspek-aspek ini, risiko bagi investor menjadi terlalu tinggi,” jelas Stefanus.
Aspek pembiayaan dan keberlanjutan proyek energi juga disorot oleh Member of Supervisory Board Standard Chartered Indonesia, Adhi Sulistyo Wibowo. Ia menekankan pentingnya pembiayaan hijau (green financing) yang memenuhi standar global.
Baca juga: Tunjukkan Kemajuan, Instrumen Pembiayaan Hijau Capai Rp 52 T pada 2024
Menurut Adhi, proyek WTE memiliki potensi besar untuk masuk kategori investasi berbasis environmental, social, and governance (ESG), asalkan memenuhi prinsip keberlanjutan dan transparansi dalam setiap tahap pengembangannya.
“Dari perspektif perbankan internasional, minat terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia terus meningkat, termasuk pada sektor WTE,” ujar Adhi.
Meski demikian, lanjut dia, keberhasilan pembiayaan sangat bergantung pada kejelasan kebijakan, stabilitas proyek, serta adanya jaminan kepastian pendapatan bagi investor.
Adhi menyampaikan bahwa Standard Chartered memang aktif mendorong penggunaan instrumen pembiayaan hijau untuk mendukung proyek-proyek ramah lingkungan di negara berkembang.
Baca juga: Triwulan I 2025, BRI Catat Pembiayaan Hijau Capai Rp 89,9 Triliun
Namun, dibutuhkan penguatan tata kelola, keandalan pasokan limbah sebagai bahan baku, serta hubungan kolaborasi antarsektor yang solid, agar proyek WTE bisa menarik minat pembiayaan global.
Menutup forum CEO Connect sesi keempat, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyampaikan tinjauan kritis berbasis bukti terhadap kebijakan dan pilihan teknologi WTE di Indonesia.
Dalam paparanya, Fabby menegaskan bahwa kebijakan WTE perlu diselaraskan dengan karakteristik aliran limbah di setiap kota karena tidak ada satu teknologi tunggal yang cocok untuk semua kondisi.
“Untuk limbah organik berfraksi tinggi, teknologi seperti anaerobic digestion menawarkan keuntungan dalam hal pemulihan energi dan penanganan residu, sementara untuk limbah campuran dengan fraksi plastik besar, gasifikasi atau insinerasi dengan kontrol emisi ketat mungkin lebih relevan,” jelasnya.
Baca juga: Mengenal Ruang Lingkup Produk Kerajinan Limbah Organik
Fabby menegaskan, pilihan teknologi harus didasarkan pada karakteristik feedstock dan kapasitas pengelolaan lokal.
Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya analisis dampak secara menyeluruh, mulai dari penerimaan masyarakat, penciptaan lapangan kerja lokal, jejak karbon, hingga tata kelola residu abu.
Seluruh aspek tersebut, menurut Fabby, harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan proyek.
“Proyek WTE yang baik bukan hanya soal pembangkit listrik, ia juga harus menyelesaikan persoalan sampah kota, memberi manfaat ekonomi daerah, dan meminimalkan dampak lingkungan melalui pengelolaan abu dan emisi yang transparan,” tegasnya.
Baca juga: Tak Punya Lahan, Jakarta dan Bandung Belum Masuk Proyek Waste to Energy
Melalui sinergi antara pemerintah, industri, lembaga keuangan, dan inovator, forum CEO Connect sesi keempat memperlihatkan bahwa keberlanjutan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi hijau yang nyata bagi Indonesia.
Sebagai bagian dari rangkaian 16th Kompas100 CEO Forum 2025 powered by PLN, forum ini berhasil menegaskan bahwa transisi menuju WTE bukan semata upaya pengelolaan lingkungan, melainkan langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi dan memperluas nilai ekonomi dari sumber daya yang selama ini terbuang.
Informasi lebih lanjut mengenai Kompas100 CEO Forum dapat diakses melalui laman kompas100.kompas.id atau akun media sosial @kompas100ceoforum dan tagar #Kompas100CEOForum.
Sebagai informasi, 16th Kompas100 CEO Forum 2025 powered by PLN diselengarakan oleh Harian Kompas dengan dukungan PT PLN (Persero).
Baca juga: Di CEO Connect 2025, PLN Soroti Pentingnya Pembangunan Adaptif untuk Kebutuhan Energi Masa Depan