KOMPAS.com - Riset terbaru menemukan bahwa jika masyarakat dunia beralih ke pola makan yang fleksibel dan didominasi pangan nabati, hal ini berpotensi mencegah kematian dini hingga 15 juta nyawa setiap tahun.
Selain itu juga pola makan ini dapat mengurangi kesenjangan sosial serta menjauhkan planet dari ambang bencana iklim.
Komisi EAT-Lancet 2025, yang terdiri dari pakar internasional terkemuka dalam bidang gizi, ilmu iklim, ekonomi, dan kebijakan, memperingatkan bahwa produksi dan konsumsi makanan kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan manusia dan planet.
Namun, studi tersebut juga menyimpulkan bahwa peralihan ke pola makan global yang fleksibel dan didominasi tumbuhan ditambah asupan sedang produk susu, ikan, dan unggas, serta meminimalkan daging merah dan daging olahan, dapat memangkas risiko kematian prematur hingga 27 persen.
Melansir Independent, Jumat (3/10/2025) pola makan yang disebut Diet Kesehatan Planet ( Planetary Health Diet) yang dilakukan secara global ini kemudian dapat mencegah sekitar 15 juta kematian dini setiap tahun serta menurunkan secara signifikan angka penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, dan gangguan saraf.
Baca juga: IPB Dorong Terwujudnya Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Hindari Konflik Global
"Sistem pangan merupakan kontributor utama bagi banyak krisis yang kita hadapi saat ini, dan pada saat yang sama, ia juga merupakan kunci untuk menyelesaikannya," ungkap Shakuntala Haraksingh Thilsted, salah satu ketua komisi dan direktur nutrisi, kesehatan, dan ketahanan pangan di Consultative Group on International Agricultural Research.
"Bukti dalam laporan kami sangat gamblang bahwa dunia harus bertindak tegas dan setara demi mencapai kemajuan yang berkelanjutan. Keputusan kita sekarang akan menjadi penentu bagi kesehatan umat manusia dan kelestarian bumi di masa depan," katanya lagi.
Sistem pangan dunia menyumbang sekitar 30 persen emisi gas rumah kaca dan merupakan faktor utama yang menyebabkan batas aman planet terlampaui.
Dampak utamanya meliputi hilangnya spesies, berkurangnya sumber air bersih, perubahan fungsi lahan, dan pencemaran nutrisi.
Walaupun produksi pangan sudah menghasilkan kalori yang memadai untuk seluruh populasi, faktanya 3.7 miliar penduduk dunia saat ini tidak memiliki kepastian akses terhadap makanan bergizi, lingkungan sehat, atau penghasilan yang layak.
Di sisi lain, pola makan dari 30 persen populasi terkaya di dunia menjadi penyumbang 70 persen beban lingkungan yang ditimbulkan oleh seluruh sistem pangan global.
Jutaan anak di seluruh dunia masih bekerja di sektor pertanian, sementara 32 persen pekerja pangan memiliki penghasilan di bawah ambang batas upah layak, dan mereka sering bekerja di lingkungan yang berbahaya.
"Keadilan dan kesetaraan bukan sekadar nilai tambah, melainkan syarat mutlak bagi terciptanya sistem pangan yang tangguh dan lestari."
"Jika kita gagal menyelesaikan masalah ketidaksetaraan yang sudah parah dalam sistem pangan, maka perubahan apa pun yang dilakukan tidak kan lengkap atau bertahan lama," papar Christina Hicks, anggota komisi dan profesor ilmu sosial di Lancaster University.
Pola Makan Baru
Lebih lanjut pola makan yang diusulkan Komisi EAT-Lancet 2025 tidak sepenuhnya vegan, tetapi kaya akan tumbuhan dan fleksibel. Ini mencakup sekitar 150 gram biji-bijian utuh per hari, 500 gram buah dan sayur, 25 gram kacang-kacangan, dan 75 gram polong-polongan.
Pola makan juga dilengkapi dengan makanan hewani dalam jumlah sedang, seperti hingga 200 gram daging merah seminggu, 400 gram unggas, 700 gram ikan, dan tiga hingga empat butir telur per minggu.
Selain itu juga memperbolehkan satu porsi produk susu per hari – hingga 500 gram susu, yoghurt, atau keju sambil membatasi gula tambahan, lemak jenuh, dan garam.
"Planetary Health Diet memungkinkan keragaman budaya dan preferensi individu, memberikan fleksibilitas dalam pedoman yang jelas untuk mencapai hasil kesehatan dan keberlanjutan yang optimal di seluruh dunia," jelas Walter C Willett, ketua komisi dan profesor epidemiologi dan nutrisi di Harvard TH Chan School of Public Health.
Baca juga: Negara Maju Lebih Banyak Buang Makanan, Tapi Ada Peningkatan di Negara Berkembang
Komisi EAT-Lancet memperhitungkan bahwa sistem pangan global saat ini menimbulkan kerugian terselubung senilai 15 triliun dolar AS setiap tahun akibat beban biaya kesehatan dan kerusakan ekosistem.
Meskipun transformasi pola makan dan praktik produksi memerlukan investasi 200–500 miliar dolar AS per tahun, keuntungan yang didapat akan mencapai lebih dari 5 triliun dolar AS per tahun .
Keuntungan ini berupa penghematan biaya kesehatan, peningkatan hasil kerja, dan penurunan dampak buruk terhadap lingkungan.
"Mengubah total sistem pangan memang merupakan tantangan sosial dan lingkungan yang besar, namun ini adalah syarat utama agar kita berhasil mengembalikan bumi ke sistem iklim yang stabil dan planet yang lestari." terang Johan Rockström, salah satu ketua komisi dan direktur di Potsdam Institute for Climate Impact Research.
"Karena bukti ilmiah dan pengetahuan sudah kita miliki, menjadi kewajiban bersama untuk bertindak menyelamatkan dan memulihkan ekosistem bumi sebelum semuanya terlambat," imbuhnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya