JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin mempertanyakan siapa yang akan mengambil alih kewenangan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pasca lembaga ad hoc itu dibubarkan per 31 Desember 2024 lalu. Padahal, setelah BRGM dibubarkan, temuan Madani Berkelanjutan menunjukkan 26.761 hektar lahan gambut terbakar sepanjang Juli-Agustus 2025.
Menurut Sadam, selama tahun 2025, angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan gambut masih sangat tinggi, yang bahkan tanpa pengaruh El-Nino.
Baca juga: BNPB: Banjir, Cuaca Ekstrem, dan Karhutla Jadi Bencana Paling Dominan sejak Awal 2025
"Kewenangan BRGM ini dilimpahkan ke siapa, walaupun di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sudah ada direktorat yang menangani hal tersebut. Siapa yang bertanggung jawab? Apakah KLH atau Kementerian Kehutanan (Kemenhut) atau siapa?, karena kalau dulu kami mungkin bisa meminta pertanggungjawaban terhadap BRGM sebagai lembaga berwenangan," ujar Sadam di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Kini, kewenangan restorasi gambut dan mangrove belum jelas. Ia menilai, penanganan gambut dan mangrove yang dilakukan pemerintah masih menggunakan pendekatan logika kedaruratan. Semestinya, penanganan gambut dan mangrove berorientasi pada potensi kondisi kritis di masa depan, dengan membentuk kelembagaan jangka panjang.
Diketahui, BRGM dibentuk sebagai respons atas karhutla pada 2015. Sebagai negara dengan kawasan gambut dan mangrove yang besar, kata dia, seharusnya Indonesia memahami kerentanan ekosistem ini terhadap risiko kebakaran maupun pembukaan lahan.
Sebenarnya, adanya BRGM menunjukkan Indonesia memiliki rekam jejak bagus dalam penanganan gambut dan mangrove. Namun, pembentukan BRGM hanya sementara waktu saja dan tidak berkelanjutan. Imbasnya, penanganan gambut dan mangrove di Indonesia belum menyentuh penyelesaian permasalahan secara struktural.
"BRGM yang ada setiap periode presiden ya, karena BRGM dasar hukumnya Perpres," tutur Sadam.
Baca juga: Kebakaran Lahan Gambut Akibat El Nino Bisa Terulang pada 2027
Senada, Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menilai, pembubaran BRGM menguatkan pola berulang dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia. Yaitu, membentuk
lembaga saat krisis dan diikuti pembubaran ketika tekanan mereda.
"Pola ini mencerminkan pendekatan ad-hoc yang mengandalkan logika kedaruratan ketimbang desain kelembagaan jangka panjang. Dalam konteks ini, BRGM bukan hanya gagal dilembagakan, tetapi sejak awal memang tidak didesain untuk bertahan," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya