JAKARTA, KOMPAS.com - Barista Alpijar Ramadhani (20) tidak pernah menyangka bahwa keputusan buruknya pada umur 16 tahun dapat membawanya menjadi pemilik warung kopi (warkop).
Pada 2018, pemuda yang akrab dipanggil Pijar ini dijebloskan ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) akibat terlibat tawuran di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.
“Nyampe tuh di Salemba. Waktu itu putusnya (harus menjalani hukuman) dua tahun delapan bulan, khusus anak di LPKA,” kata Pijar kepada Kompas.com saat ditemui di warkopnya, “Warkoplu”, Rabu (21/6/2023).
Baca juga: HUT Ke-496 DKI Jakarta, Macet Masih Jadi Kawan Setia
Warkoplu beralamat di Jalan Howitzer Raya Nomor 21 RT 016/RW 03, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pijar bercerita, lima tahun lalu, sebagai remaja dengan emosi menggebu-gebu, ia mencari pengakuan dari orang lain dengan ikut tawuran.
Gara-gara itu, Pijar ditangkap polisi. Ia divonis penjara dan ditahan di LPKA. Setelah itu, ia mendapat pembebasan bersyarat.
Masa pembebasan bersyarat menjadi titik balik bagi Pijar untuk berubah.
Saat menjalani masa pembebasan bersyarat, ia mendapatkan pelatihan barista sebagai klien Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Pusat.
“Titik baliknya sudah capek kali, ya. Sudah semuanya dilalui, gitu. Terus kebetulan lagi dapat pelatihan barista di Blok M kan, diajak Bapas,” kata Pijar.
Baca juga: Tidak Ada Kado Istimewa di HUT ke-496 DKI Jakarta
Ia mengikuti pelatihan yang digelar Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM), kelompok masyarakat peduli pemasyarakatan (Pokmas Lipas) yang telah bekerja sama dengan Bapas Kelas I Jakarta Pusat sejak 2019 untuk membimbing klien.
Pijar mengikuti pelatihan mulai pukul 08.00 hingga 22.00 WIB. Selesai itu, sesekali ia lanjut menongkrong bersama teman-temannya sampai pukul 03.00 atau 04.00 WIB.
“Terus di situ mikir, aduh capek juga kayak gini, ya. Enggak tidur, terus kan lanjut lagi (ikut pelatihan di Blok M). Titik baliknya di situ sih,” tutur anak bungsu dari enam bersaudara itu.
“Kalau dulu kan masih muda kayak gua butuh validasi, nih. Gue keren, gitu. Titik baliknya mungkin (juga) karena aku punya kegiatan. Apa mungkin dulu karena enggak punya kegiatan (makanya ikut tawuran), ya?” ujar dia.
Sebagai eks narapidana (napi), Pijar pernah punya ketakutan tidak bisa diterima masyarakat. Namun, ketakutan itu tidak lama pergi. Ia tidak ingin menambah beban untuk dirinya sendiri.
“Awal keluar ada ya kayak gitu (pemikiran takut dihakimi), tapi semenjak punya kopi itu sudah enggak peduli siapa orang, lah. Kayak enggak terlalu berpengaruh,” jelas Pijar.
“Pernah ada satu pemikiran kayak, kalau dipikirin, hal-hal kayak gitu bakal jadi beban untuk jadi diri kita sendiri. Jadi bodo amat saja,” lanjut dia.
Bagi Pijar, salah satu hal yang menjadi pemicu dirinya bisa berpikiran positif adalah lingkungannya saat ini.
“Di kopi itu lingkungannya juga sama kayak kami, rata-rata klien-klien Bapas juga. Kami sharing-sharing bareng, kayak, ‘Biarin saja, Jar’. Nyamanlah, gitu,” tutur pria kelahiran 27 November 2002 itu.
Saat Pijar mengikuti pelatihan kopi bersama YIIM, ada 14 orang lainnya yang juga berpartisipasi untuk fase pertama.
“Terus dipilih tiga orang untuk magang selama tiga bulan. Setelah itu, baru masuk pembinaan di mana kami ditaruh ke coffee shop lain yang bekerja sama dengan pihak YIIM selama sekitar sembilan bulan,” kata Pijar.
“Nah, setelah ngelewatin semua proses itu, tinggal pilihannya di kami, mau lanjut kerja atau mengajukan proposal untuk membuat usaha,” sambung dia.
Baca juga: Pengunjung Jakarta Fair yang Kehilangan Barangnya di Penitipan Mengaku Rugi Rp 200.000
Pijar pun memilih merintis usahanya sendiri. Ia memanfaatkan gudang milik keluarganya di sebuah ruko. Selain itu, ia dibantu YIIM untuk membeli alat-alat yang dibutuhkan.
“Bantuan dari pihak pelatihan itu dikasih budget Rp 15 juta, terus pihak sana yang membelikan alat, aku mengajukan proposal ke sana terus di-acc (terima),” tutur Pijar.
“Modal sendiri juga ada, sih. Kayak beli mesin, alat-alat kecil, ngebangun. Ini (warkopnya) kan dulu kayak gudang gitu,” papar dia.
Kedai kopi Warkoplu milik Pijar pertama kali dibuka di tengah pandemi Covid-19, yakni 6 Maret 2021.
Untuk membantunya, Pijar mempekerjakan empat anak muda yang masih kebingungan mencari relasi.
“Aku kasih gaji segini sama komisi. Semacam, ‘Kalau lo bisa bawa orang–dari teman ke teman, lo bisa bawa orang per gelas (dapat komisi) Rp 2.000,” kata Pijar.
Pada waktu itu, strategi itu cukup membantu. Pijar mengenalkan kedai kopi miliknya dari mulut ke mulut melalui orang-orang yang kerja bersamanya.
“Enggak rugi (pakai cara itu) karena sudah dihitung. Sebenarnya aku bisa kasih gaji segini, cuma aku potong. Misalkan bisa kasih Rp 50.000, kami kasih cuma Rp 30.000. Kalau mau dapat Rp 50.000, per gelas (dapat tambahan) Rp 2.000,” tutur dia.
“Balik lagi, aku enggak maksa buat ngambil (bawa) orang. Kalau lo mau (dapat uang) lebih, bisa,” lanjut Pijar.
Baca juga: Kisah Seniman Jadi Peternak Kambing, Kerja 3 Tahun Bisa Beli Motor dan Bangun Rumah
Atas pencapaiannya saat ini, Pijar mengaku belum puas. Sebab, masih banyak hal yang ingin digapainya.
“Belum (bangga), sih. Masih banyak yang mau dicapai. Puas juga belum, masih banyak ambisi,” ucap dia.
Namun, Pijar mengaku senang dan menikmati kesehariannya menjadi seorang pemilik kedai kopi sekaligus barista.
Ke depannya, Pijar berharap kedai kopinya bisa buka di tempat yang lebih besar dan memiliki fasilitas yang lebih bagus.
“Terus bisa kasih pelajaran ke teman-teman yang punya keterbatasan relasi, karena sempat ngerasain juga. Mau bergerak ke sana-sini enggak punya apa-apa, jadi kayak bingung,” ungkap Pijar.
“Jadi (kalau) ada teman-teman yang mau belajar (kopi), ya sudah datang saja ke sini. Aku mau bantu ajarin,” imbuh dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya