Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maria "Mama Sorgum" Loreta, Penjaga Ketahanan Pangan NTT lewat Sorgum

Kompas.com - 09/08/2023, 12:59 WIB
Serafinus Sandi Hayon Jehadu,
Krisiandi

Tim Redaksi

FLORES TIMUR, KOMPAS.com - Maria Loreta (54) punya julukan Mama Sorgum. Sebutan tersebut cukup beralasan, sebab perempuan berdarah Dayak ini terus berupaya membangun kesadaran masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk memproduksi dan mengonsumsi sorgum.

Ia berharap masyarakat NTT tak melulu bergantung pada beras dan jagung.

Perempuan asli Ketapang, Kalimantan Barat, cinta pada sorgum sejak ikut suami tinggal di NTT. Ia mulai penasaran dengan sorgum saat diberi seorang temannya.  

"Saya ingin tinggal di NTT, apalagi suami saya orang, NTT," ucap Loreta saat ditemui di kediamannya di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, Rabu (9/8/2023).

Baca juga: Konten Viral Bersihkan Sampah, Pandawara Group: Bukan Mau Bikin Malu

Sejak 2007

Foto: Sorgum ditanam di lahan milik Maria Loreta di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur.Serafinus Sandi Hayon Jehadu/Kompas.com Foto: Sorgum ditanam di lahan milik Maria Loreta di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur.
Loreta menuturkan, ketertarikannya pada sorgum mulai pada April 2007 silam. Atau bermula saat dirinya bertemu seorang perempuan, Maria Helan, warga Pajinian.

"Dia (Maria Helan) adalah inspirasi saya. Dialah yang memberi sepiring sorgum untuk saya. Di atas (sorgum) itu ada parutan kelapa, dan itu sangat enak," ucap wanita kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat ini.

Pemberian Maria, mengingatkan Loreta tentang masa kecil saat menetap di Jawa. "Loh ko bisa ada di sini, makanan camilan ini rasanya enak sekali," ujar Loreta.

Baca juga: Perjuangan Ketua RT di Koja Tekan Dampak Negatif dari Lokalisasi Kramat Tunggak

Loreta kemudian meminta bibit sorgum. Namun Maria tidak punya. Maria mengatakan bahwa sorgum itu ia dapatkan dari kakaknya di Desa Hurung, tetangga Desa Pajinian.

Keesokan harinya, Loreta menemui kakak Maria di Desa Hurung, namun ia hanya mendapat bibit sorgum ukuran setengah gelas air mineral.

Dari sinilah ia bersama sang suami, Jeremias D. Letor memulai petualangan baru, memburu benih sorgum di NTT.

Baca juga: Cita-cita Eks Napi Syaiful Setelah Rintis Usaha Ayam Geprek, Jualan di Ruko dan Punya Karyawan

"Akhirnya saya putuskan memburu benih, apalagi waktu itu ada program seperti demplot pangan lokal, dan program dari badan ketahanan pangan. Mereka tawarkan tanam ubi dan jagung, tapi kami tolak, kami mau tanam versi kami, dan diterima usulan itu," ungkapnya.

Keduanya berkeliling dari kampung ke kampung selama tiga tahun. Hingga pada 2010, Loreta dan Jeremias mendatangi sebuah desa bernama Nobo, desa terpencil di wilayah Kecamatan Ile Bura, Flores Timur.

Kala itu, kenang Loreta, ia harus merogoh kocek Rp 100.000 untuk membeli 10 kilogram bibit sorgum. Uang itu hasil jual kopra.

"Saat itu kami punya uang Rp 100.000, itu belum tambah ongkos transportasi," kenang jebolan Universitas Merdeka Malang ini.

Loreta lalu menanam 15 kilogram bibit itu di lahan yang sudah disiapkan. Ia meyakini bahwa ke depan sorgum akan menjadi makanan alternatif yang diminati banyak orang.

Baca juga: Cerita Dany Arwanto, Penghijau Kawasan Kumuh di Utara Jakarta...

Setahun kemudian nama Loreta mulai dikenal. Ia juga mulai membangun jejaring dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan belajar tentang sorgum dari para rohaniwan Katolik.

"Sejak 2010 ternyata para petani mulai antusias dengan saya. Dan kelompok tani pertama yang undang saya itu Apel (Asosiasi Petani Lembor) Manggarai Barat," ucapnya.

Tak berhenti di situ, selepas dari Lembor, Loreta mendapat banyak undangan dari para petani di berbagai daerah, seperti Ende, Ngada, Nagekeo, Flores Timur, Lembata, Rote dan beberapa wilayah di Pulau Timor.


Banyak persoalan

Foto: Maria Loreta (54) penggerak sorgum di NTTSerafinus Sandi Hayon Jehadu/Kompas.com Foto: Maria Loreta (54) penggerak sorgum di NTT
Loreta menemukan banyak persoalan yang dihadapi petani, seperti gagal panen, musim tidak menentu, kekurangan air, dan masalah lain. Apalagi petani mulai menggantungkan hidup dari jagung dan padi.

Baca juga: Kisah Syamlan dan Sekolah Sepatu Rodanya, Ajak Anak Bersenang-senang Sambil Jalankan Gaya Hidup Sehat

"Inilah masalahnya, petani kita menggantungkan hidup dari padi dan jagung, padahal kita punya sorgum," ujar ibu empat anak ini.

Loreta menjelaskan sorgum merupakan pangan lokal khas, dan cocok untuk dibudidaya di daerah lahan kering dan iklim sepeti NTT. Sayangnya program berasnisasi pada 1970-an membuat petani meninggalkan sorgum.

Fakta ini membuat Loreta terus tertantang untuk mengampanyekan sorgum di seluruh pelosok NTT. Ia berjuang mengubah pemahaman masyarakat, membangun optimisme petani untuk tanam sorgum.

"Awalnya banyak yang pesimis tapi saya berusaha. Dan saat ini kurang lebih 700 an hektare lahan sudah ditanami sorgum. Ini wilayah yang pernah saya kunjungi," ucapnya.

Baca juga: Komunitas Ganesa Peduli di Lombok, Berkeliling Tambal Jalan dari Duit Urunan

Dijuluki "mama sorgum"

Foto: Sorgum yang telah diolah menjadi beras sorgumSerafinus Sandi Hayon Jehadu/Kompas.com Foto: Sorgum yang telah diolah menjadi beras sorgum
Kesuksesan ini membuat Loreta dijuluki sebagai Mama Sorgum di NTT.

Ia juga menerima banyak penghargaan, seperti Kehati Award 2012 bidang Prakarsa Lestari Kehati, Kartini Award 2012, Perempuan Terinspiratif Bidang Lingkungan, Ashoka Innovators for The Public 2013

Lalu, Perempuan Pemerhati Lingkungan Pendidikan Anak Usia Dini dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2016, Pelopor, Penggerak Sorgum dan Petani Teladan HPS 2016 dari Kementerian Pertanian RI, dan sejumlah penghargaan lain.

Bagi Loreta penghargaan bukan tujuan, tetapi menjadi penyemangat untuk terus mendorong petani khususnya perempuan dan anak di NTT, menjaga ketahanan pangan melalui sorgum.

"Yang menguatkan saya itu adalah petani, karena itu sudah saatnya kita kampanyekan dan tanaman sorgum tanpa harus bergantung pada beras dan jagung," pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com