KOMPAS.com - Dalam menanggapi isu, dapat dengan mudah masyarakat dikelompokkan antara "mereka" dan "kita". Inilah yang disebut sebagai polarisasi. Polarisasi dapat menyebabkan konflik kekerasan yang semakin sulit mempersatukan kalangan masyarakat.
"Ketika ada polarisasi, hal yang patut kita perhatikan sebagai solusi strategis adalah 'siapa yang bertanggung jawab?', 'siapa yang dikorbankan?', dan 'kenapa mereka dikorbankan?'," Daniel Medina berpendapat. Dia adalah Research Associate Institute for Intergrated Transition (IFIT) Kolombia.
"Kita sering membahas siapa yang bertanggung jawab tetapi tidak lihat secara mendalam dan memahami kondisi struktural di dalam masyarakat, seperti kemiskinan. Maka, perselisihan di kalangan masyarakat sebenarnya berkaitan dengan banyak permasalahan yang mendasar," lanjutnya.
Medina mengutarakan pendapatnya di Unconference "Polarization and Its Discontent in the Global South: Mitigation Measures, Strategies and Policies". Konferensi tersebut diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta di University Club UGM, 24-25 April 2025.
Direktur ICRS Zainal Abidin Bagir mengatakan, umumnya faktor identitas seperti agama dipakai sebagai alat politik yang menegaskan perbedaan di masyarakat. Narasi-narasi pemecah belah ini cenderung politis, sehingga memerlukan semangat inklusivitas.
Faktor identitas seperti agama sering kali menjadi alat politik untuk meruncingkan polarisasi. Hal ini terjadi di pelbagai aktivis, komunitas, dan cendekiawan dari berbagai negara yang terlibat dalam konferensi itu mendiskusikan penyelesaian secara bersama. Mereka yang hadir berasal dari Indonesia, Afrika Selatan, Brasil, dan Kolombia.
Polarisasi di balik narasi energi panas bumi
Aspek keadilan lingkungan menjadi salah satu permasalahan mendasar dalam polarisasi yang dibahas dalam konferensi ini. Partisipan pertemuan ini dihadiri akademisi dan aktivis dari negara-negara dunia selatan seperti Indonesia, Afrika Selatan, Brasil, dan Kolombia. Selain polarisasi, negara-negara ini memiliki kesamaan berupa kekayaan sumber daya alam.
Dalam konteks Indonesia, Jonathan Davis Smith, peneliti dan pengajar Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM mengungkapkan pembentukan narasi tentang transisi energi hijau yang menyebabkan polarisasi.
Smith mempresentasikan hasil temuan kolaboratif yang melibatkan periset komunitas di tempat terdampak yang diselenggarakan sejak 2024. Sampai saat ini, hasil temuan tersebut dalam proses publikasi.
Baca juga: Menteri ESDM Perintahkan PLN Bangun Pembangkit Panas Bumi di Maluku
Dalam presentasi "Contrasting Narratives of Green Energy and Mitigation Strategies by Promoters and Opponents of Geothermal Energy Developments", Smith dan rekan-rekan mengungkapkan energi hijau panas bumi (geothermal) tidak selalu sesuai dengan faktanya bagi masyarakat terdampak.
Sejak 1980-an, energi panas bumi dijadikan sebagai proyek utama pemerintah. Setelah kesepakatan internasional menghentikan karbon, Indonesia berinisiatif untuk terlibat. Transisi energi hijau diterapkan untuk memenuhi target pengurangan karbon.
Energi panas bumi digunakan sebagai langkah transisi ini. Komunitas internasional dan Bank Dunia menyambutnya. Narasi pun digunakan seperti pemanfaatannya yang lebih ramah lingkungan ketimbang energi fosil dan dapat memberdayakan masyarakat lokal.
Namun, kenyataannya tidak semanis yang ada di dalam narasi beredar. Sekitar 60 lokasi yang di survei Smith dan rekan-rekan mengungkapkan adanya pertentangan dari kalangan masyarakat lokal. Pertentangan itu berkaitan dengan permasalahan kerusakan lingkungan yang disebabkan pembangunan dan aktivitas energi panas bumi.
"Jadi, ada gagasan juga yang harus menjadikan mereka (aktivis dan warga lokal) berada dalam posisi sebagai 'pelindung lingkungan' atau 'penolak'," ujar Smith. "Sering kali aktivisme dibangun untuk menentang narasi dominan."
"Pendapat masyarakat dari masyarakat kerap diabaikan. Kalangan elite hanya menganggap opini-opini yang menentang pemanfaatan energi panas bumi sebagai penghalang pembangunan energi hijau," terang Smith.
Idealnya, Smith melanjutkan, pembangunan energi hijau harus selaras dan membantu keberlanjutan lokal dan memperhitungkan pendapat mereka. Oleh karena itu, untuk strategi mitigasi konflik polarisasi seharusnya memperhitungkan komunikasi, pertimbangan, dan aksi kolektif.
Meski demikian, pendekatan terhadap masyarakat adat dan lokal kerap kali tidak tepat untuk mewakili keseluruhan masyarakat yang terdampak pembangunan panas bumi.
"Perusahaan, pemerintah daerah, pemerintah pusat berkomunikasi dengan merayu masyarakat lokal dan adat. Hanya 1-2 kalangan yang setuju tetapi mereka anggap sudah mewakili keseluruhannya," papar Smith.
"Ada pun pendekatan yang tidak lewat konsultasi, melainkan intimidasi, sehingga mendorong sebagian dari kelompok yang setuju dan tidak setuju. Cara ini menciptakan polarisasi yang bertolak belakang dari strategi pemerintah dan masyarakat," tutur Smith.
Menangkal polarisasi
Menurut Zainal, temuan Smith dan rekan-rekan menyadarkan kita akan situasi yang terlihat "kurang terpolarisasi", sejatinya mengubur polarisasi yang ada. "Berarti, ada wacana yang sudah dikontrol untuk membuatnya terlihat tidak ada polarisasi."
"Polarisasi adalah sesuatu yang dibentuk. Artifisial. Maka, pertanyaannya, cui bono--siapa yang diuntungkan?" terang Nicholas Adam, filsuf University of Birmingham yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Perbedaan akan selalu ada di setiap individu dan kelompok. Perbedaan bisa menghasilkan konflik, namun tidak selalu berbuah pada kekerasan karena nilai dan etika yang mengikat masyarakat. Adam melanjutkan, narasi politik sering membesar-besarkan perbedaan sehingga menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)
Baca juga: Gubernur NTT: Pengembangan Geotermal di Pulau Flores akan Ditinjau
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya