Maka, bencana di Sumatra — Aceh, Sumut, Sumbar — harus menjadi momentum introspeksi dan perubahan mendasar.
Pertama: rehabilitasi hulu sungai dan zona lindung. Pemerintah harus segera meninjau ulang semua izin pertambangan, perkebunan, dan konversi lahan di kawasan hulu DAS; mencabut izin perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran; serta menegakkan konservasi dan reboisasi.
Hutan bukan komoditas semata — ia adalah infrastruktur ekologis vital untuk menjaga siklus air, kestabilan tanah, dan keseimbangan alam. Jika fungsi hutan diabaikan, maka “tangki penampung air” buatan pun akan selalu kalah dibanding curah hujan ekstrem.
Kedua: penguatan regulasi dan penegakan hukum lingkungan. Negara tidak boleh memberi toleransi terhadap perizinan masif tanpa kajian lingkungan memadai. Supervisi, audit, dan transparansi izin harus menjadi norma — bukan pengecualian. Praktik izin tumpang tindih, izin longgar, dan pengawasan lemah adalah akar dari tragedi ekologis ini. (Environment Ministry, 2025).
Ketiga: pengembangan sistem peringatan dini dan mitigasi berbasis komunitas dan ekosistem, bukan semata infrastruktur beton. Kanal drainase, penahan banjir, normalisasi sungai — semua itu penting. Tapi yang jauh lebih mendasar: memperkuat ekologi alam agar dapat menyerap guncangan hujan ekstrem. Hutan, lahan basah, vegetasi riparian — didorong kembali sebagai bagian dari sistem mitigasi.
Keempat: pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pemerintah dan masyarakat harus menggeser paradigma bahwa pertumbuhan ekonomi selalu identik dengan ekspansi lahan dan eksploitasi alam. Pembangunan tidak boleh menukarkan masa depan — baik manusia maupun lingkungan — demi keuntungan cepat. Investasi pada energi terbarukan, agroforestry berkelanjutan, ekonomi hijau, dan restorasi ekosistem harus dijadikan prioritas.
Kelima: keadilan ekologis bagi korban, terutama masyarakat adat dan komunitas lokal. Banyak dari mereka menggantungkan hidup pada hutan dan lahan — kini mereka kehilangan semua: rumah, mata pencaharian, akses terhadap alam, dan rasa aman.
Pemulihan pascabencana harus melibatkan mereka, dengan jaminan restitusi, rehabilitasi lahan, dan partisipasi dalam perencanaan tata ruang.
Baca juga: Pakar UGM: Banjir Bandang Sumatera Seharusnya Belum Terjadi jika Murni Faktor Alam
Bencana ini juga harus menjadi cermin bagi seluruh rakyat Indonesia — bahwa ketika kita merusak alam demi kepentingan sesaat, maka alam akan membalas dengan cara paling kejam: merenggut nyawa, harapan, dan masa depan.
Kita pantas menuntut: agar hutan bukan lagi sekadar komoditas ekonomi, tetapi bagian dari warisan bersama — warisan generasi dan fondasi keberlanjutan kehidupan. Bila kita benar-benar peduli, kita akan memilih jalur yang mungkin sulit, tapi jauh lebih manusiawi: menjaga alam bukan ketika sudah rusak, tetapi sejak awal — sebagai mitra hidup, bukan korban eksploitasi.
Karena pada akhirnya: tidak ada pembangunan yang bisa dianggap maju jika harus menghitung manusia sebagai korban, dan alam sebagai korban bisu.
Baca juga: Ahli UGM: Kerusakan Hutan Hulu Tingkatkan Risiko Luapan Banjir Sumatera hingga 80 Persen
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya